Tuesday, November 27, 2007

WASPADA KORUPTOR “SAKIT”

Komisi pemberantasan korupsi (KPK) mulai menabuh genderang perang terhadap para koruptor. Sejumlah pejabat tersangka kasus korupsi mulai diproses dan dimasukkan ke dalam tahanan, dimulai dengan Gubernur Nangro Aceh Darusalam, Abdulah Puteh, yang kini mendekam di rutan Salemba. Namun, dari sekian kasus korupsi yang ditangani, para koruptor mulai “sakit”. Apakah koruptor tersebut benar-benar sakit atau hanya akal bulus untuk lolos dari hotel prodeo?

Sungguh aneh bin ajaib, satu persatu para koruptor yang akan atau sedang mendekam di penjara mulai divonis “sakit” dengan surat keterangan dokter. Tentunya masih segar di ingatan kita kasus Soeharto, mantan penguasa era orde baru ini tidak bisa diadili karena alasan sakit permanen. Pasca jatuhnya rezim orba, tim dokter menyatakan bahwa Soeharto mengalami kerusakan otak permanen, sehingga samapai saat ini kasus beliau belum bisa diadili. Namun sangat kontras sekali jika kita melihat di media cetak ataupun elektronik beliau kelihatan segar bugar, baik pada pemilu legislatif maupun pemilu presiden beberapa waktu lalu.

Lalu penyakit menghinggapi pula mantan menteri yang beberapa kali menjabat, Ginandjar Kartasasmita, yang tiba-tiba sakit ketika perkaranya akan digelar. Fenomena janggal dan latah ini kemudian diikuti oleh koruptor-koruptor kelas kakap dan kelas teri. Dan ujung-ujungnya mereka harus dirawat di rumah sakit yang berkelas dan ber-AC sepadan dengan standard hotel berbintang. Tidak lagi ditemui senyum kecut para sipir penjara, tetapi senyum manis para perawat dan dokter yang selalu siap 24 jam untuk melayani kebutuhannya. Itu sebabnya para koruptor lebih suka berbaring di rumah sakit dengan pelayanan ekstra daripada tidur di hotel prodeo.

Demikian juga tersangka kasus penyalahgunaan dana BLBI senilai 10 triliun, Sjamsul Nursalim, yang harus dirujuk ke rumah sakit di luar negeri karena keterbatasan rumah sakit Indonesia. Bukan hanya mereka-mereka yang beruntung. Ada rentetan kasus korupsi yang dilakukan oleh pejabat daerah, pejabat tingkat nasional, maupun pengusaha. Banyak diantara mereka yang memang diadili, namun ditengah atau akhir persidangan mereka memperoleh surat sakti (surat keterangan sakit). Bagi orang miskin sakit membawa petaka, sebaliknya pada orang kaya dan korup sakit malah membawa berkah. Apa yang bisa dilakukan hukum ketika berhadapan dengan surat sakti tersebut? Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pasal 31 tersangka atau terdakwa yang sakit boleh meminta penundaan penahanan. Barisan pengacara top disertai surat keterangan sakit merupakan peluru terakhir yang membuat kejaksaan dan pengadilan tidak bisa berkutik.

Hal inilah yang perlu kita waspadai dalam mengawasi pemberantasan kasus korupsi. Surat keterangan sakit rawan sekali terhadap manipulasi, untuk itulah diperlukan tim dokter yang independen yang berasal dari kejaksaan atau pengadilan. Tim dokter inilah yang akan melakukan pemeriksaan lanjutan terhadap tersangka korupsi yang memberikan klaim bahwa dirinya “sakit”. Sebab sudah bukan rahasia lagi jika surat dokter tersebut sangat mudah didapatkan, tergantung bargaining power serta uang yang ada. Dengan adanya tim dokter yang independen diharapkan tercipta keadilan yang sebenar-benarnya, bagi tersangka yang betul-betul sakit akan mendapatkan perawatan yang layak dan juga sebaliknya.

WASPADA KLB DBD

Demam berdarah sempat mencuat setelah tahun 2004 lalu penyakit ini dinyatakan sebagai KLB (kejadian Luar Biasa) di negara kita. Memasuki tahun 2005 ini jumlah kasus demam berdarah mulai melonjak di beberapa daerah. Penderitaan korban serta kerugian yang ditimbulkan sudah menjadi menu sehari-hari yang terpampang di berbagai media cetak maupun elektronik. Akankah tahun 2005 ini KLB DBD (Demam Berdarah Dengue) terjadi secara nasional lagi?

UU No. 4 tahun 1984 tentang wabah penyakit menular menyebutkan bahwa wabah adalah kejadian berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat, yang jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi dari keadaan yang lazim pada waktu dan daerah tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka. Dalam rangka mengantisipasi wabah secara dini, dikembangkan istilah kejadian luar biasa (KLB) sebagai pemantauan awal terhadap kejadian wabah. Sedangkan definisi KLB itu sendiri adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan atau kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu.

Penyakit Demam Berdarah Dengue telah dikenal di RSUD Soetomo sejak tahun 1968. Penyakit yang disebabkan oleh Aedes Aegypti dan Aedes Albopictus ini telah merenggut ratusan bahkan ribuan korban jiwa hingga saat ini. Tak mengherankan jika angka kejadian penyakit Demam Berdarah Dengue di Indonesia menduduki peringkat dua di Asia setelah Thailand. Berbagai penelitian untuk melawan keganasan virus ini sedang dikembangkan mengingat efek yang ditimbulkan sangatlah besar, mulai dari penelitian mutakhir mengenai jenis virus, terapi yang diberikan sampai dengan pengembangan vaksin ampuh untuk melawan keganasan virus.

Nampaknya KLB DBD yang terjadi pada tahun 2004 lalu tidak membuat pemerintah jera, hal ini dapat dicermati dari belum adanya upaya penanggulangan secara sistematik, terkonsep dan terencana. Para ahli meramalkan bahwa KLB DBD tahun lalu merupakan siklus lima tahunan sehingga hal inilah yang mungkin menjadi pertimbangan pemerintah untuk tidak tergesa-gesa melakukan upaya preventif dan promotif. Kritik pedas terhadap pemerintah mulai mengalir mengingat pada tahun ini jumlah kasus DBD mulai melonjak.

Nyamuk yang merupakan pembawa virus tersebut memiliki empat stadium dalam siklus hidupnya yaitu stadium telur, larva, pupa dan dewasa. Sangat disayangkan jika ternyata KLB DBD terjadi secara nasional sebab dengan melihat siklus hidup dari nyamuk tersebut dapat diupayakan tindakan pencegahan dan promosi. Yang paling utama dalam pemberantasan DBD adalah melenyapkan telur, larva dan pupa yang terdapat dalam air tergenang. Program pemberantasan sarang nyamuk dengan mengandalkan 3M (mengubur, menguras dan menutup) yang digembar-gemborkan saat ini terbukti belum optimal menghadang penyebaran “vampir mini” tersebut. Apakah ada yang salah dengan program tersebut? Menurut pendapat para ahli pemberantasan sarang nyamuk dengan 3M terbukti lebih efektif daripada dilakukan fogging atau pengasapan. Sebab secara logika pengasapan hanya mampu membunuh nyamuk dewasa sehingga nyamuk dewasa yang mati akan digantikan oleh nyamuk yang baru.

Pada kasus diatas yang patut dicermati adalah keterlambatan upaya 3M yang sedang disosialisasikan. Pemerintah dengan gencar memberikan penerangan pada masyarakat setelah terbesit kabar salah satu warganya terkena DBD. Padahal upaya tersebut akan memberikan hasil yang kurang optimal mengingat kedisiplinan bangsa Indonesia yang masih rendah. Hendaknya pemerintah memberikan promosi yang berkesinambungan berupa pendidikan kesehatan mengenai DBD yang dilakukan tidak hanya ketika DBD menyerang. Mengingat populasi nyamuk pembawa (vektor) yang meningkat ketika memasuki musim hujan maka diharapkan pemberian pendidikan kesehatan untuk mengubah perilaku masyarakat diberikan secara berkelanjutan baik pada saat musim hujan ataupun musim kemarau. Hanya dengan pendidikan berkesinambungan dan didukung oleh seluruh komponen masyarakat diharapkan terwujud perilaku hidup bersih dan sehat masyarakat Indonesia.

Pemberantasan DBD secara nasional dapat melibatkan siswa sekolah agar waspada dan mampu mengenali jentik-jentik nyamuk di lingkungan sekitarnya. Pengenalan DBD secara dini akan membawa hasil dalam jangka panjang. Selain itu perlu disadari bahwa DBD bukan hanya masalah Departemen Kesehatan saja tetapi juga merupakan masalah semua sektor pembangunan di negara kita. Disinilah dituntut komitmen pemerintah sebagai pelaksana serta dukungan politis dan finansial untuk membendung keganasan virus dengue. Dengan peningkatan kewaspadaan dini terhadap penyebaran dan kejadian luar biasa diharapkan kasus DBD di Indonesia dapat diminimalisir. Serta tidak lupa sosialisasi paradigma “mencegah lebih baik daripada mengobati” perlu ditanamkan dalam propaganda perang terhadap demam berdarah.

REPUBLIK SARANG NYAMUK

Indonesia merupakan negara dengan berbagai predikat dalam bidang kesehatan. Predikat pertama adalah negara penyumbang kasus TB Paru terbesar ketiga di dunia setelah India dan Cina. Predikat kedua adalah peringkat kedua dengan prestasi angka kejadian Demam Berdarah Dengue tertinggi di Asia setelah Thailand. Akankah republik ini mendapat predikat sebagai republik sarang nyamuk selain republik sarang koruptor?

Persoalan pemberantasan nyamuk merupakan masalah klasik seperti masalah pemberantasan korupsi yang tidak kunjung usai. Siapa sangka vampir mini ini berhasil membuat negara kita kelabakan khusunya menjelang musim hujan. Tahun lalu jumlah penderita DBD sempat mengakibatkan KLB (Kejadian Luar biasa) di negara kita. Tidak hanya kerugian material yang ditimbulkan tetapi juga fisik dan psikologis dengan jatuhnya puluhan bahkan ratusan korban jiwa. Setelah nyamuk Aedes Aegypti tersebut merenggut ratusan korban jiwa, kritik terhadap pemerintah waktu itu mulai dilancarkan. Hampir serupa dengan tahun-tahun sebelumnya, walaupun hingga kini belum terjadi KLB DBD secara nasional namun nyamuk tersebut telah merenggut beberapa korban jiwa. Hal ini sangat disayangkan, sebab dengan berkaca dari KLB tahun lalu seharusnya pemerintah telah membuat suatu konsep penanggulangan DBD yang rasional, efektif dan tepat sasaran. Banjir, tanah longsor, gempa bumi dan Tsunamai yang akhir-akhir ini melanda bangsa kita bisa saja dijadikan alasan bagi pemerintah untuk memproritaskan masalah yang perlu ditangani segera, tetapi DBD bukan merupakan wabah yang tiba-tiba muncul. DBD merupakan suatu siklus yang tiap tahunnya tidak pernah absen mengunjungi negara kita. Rakyat tentunya tidak meragukan lagi kecerdasan para pejabat yang duduk di jajaran Depkes pusat dan dinkes daerah.

Perang Terhadap Nyamuk

Penyakit akibat gigitan nyamuk cukup beragam, begitu pula nyamuk pembawa penyakit (vektor) juga banyak jenisnya. Selain DBD tercatat pula penyakit yang ditularkan oleh nyamuk dan menjadi momok bagi bangsa kita yaitu malaria. Bedanya kasus malaria ini lebih banyak dijumpai di provinsi-provinsi bagian timur Indonesia meskipun di wilayah Jawa juga ditemukan daerah endemik malaria. Kedua penyakit ini tidak hanya memberikan beban fisik dan psikis tetapi juga berdampak pada kehidupan ekonomi masyarakat kita. Orang yang terserang penyakit tersebut terpaksa harus terbaring lemah di rumah sakit sehingga pendapatan individu juga berkurang. Merosotnya produktivitas ini akan berdampak pada perekonomian Indonesia dalam jangka panjang. Menurut para ahli diperkirakan kerugian yang ditimbulkan malaria per individu sebesar US$ 56.5 juta setiap tahunnya.

Perang terhadap penyakit yang ditimbulkan oleh nyamuk tidak hanya sebatas fogging dan terapi terbaru yang diberikan. Tetapi pemberantasan penyakit tersebut hendaknya lebih ditekankan pada aspek promotif dan preventif. Sebab seperti yang kita ketahui bersama kesadaran perilaku hidup bersih dan sehat masyarakat kita masih rendah, seperti juga rendahnya kesadaran untuk membuang sampah ditempatnya atau kurangnya disiplin berlalu lintas. Melihat sikap masyarakat yang beresiko ini hendaknya pemerintah memberikan pendidikan kesehatan yang berkelanjutan. Mulai dari lingkungan keluarga, RT, RW sampai ke tingkat provinsi perlu dilakukan penyuluhan yang intensif. Selain itu semua sektor pembangunan juga perlu diberikan pendidikan kesehatan mengenai bahaya yang ditimbulkan oleh nyamuk. Dengan pendidikan diharapkan dapat mengubah perilaku masyarakat baik dari segi afektif, kognitif maupun psikomotornya.

Sistem kewaspadaan dini dan upaya penanggulangan epidemi agar tidak semakin menyebar perlu segera dibentuk. Hal ini dimulai dari identifikasi daerah-daerah potensial sumber penyakit. Daerah yang tahun lalu mengalami wabah atau KLB perlu segera diwaspadai untuk selanjutnya disusun program penanggulangan dan pemberantasan. Dengan prinsip kemitraan antara pemerintah, swasta dan masyarakat bukan mustahil jika prevalensi penyakit akibat gigitan nyamuk ini dapat ditekan.

Menjadi rakyat kecil identik dengan kemiskinan, dan kemiskinan inilah yang menyebabkan sulitnya akses terhadap bidang kesehatan. Ongkos obat dan rumah sakit yang membumbung tinggi menyebabkan orang miskin semakin sekarat. Komitmen pemerintah baik berupa komitmen politik maupun dukungan finansial sangat diharapkan oleh mereka yang tidak mampu. Disinilah dituntut sense of crisis pemerintah dalam melihat kondisi sosial ekonomi rakyatnya. Janganlah rakyat kecil diingat ketika pilpres atau pilkada berlangsung sebab mereka yang dibawah haus akan pemimpin yang jujur dan adil.

Akhirnya kembali lagi kepada kesadaran masyarakat untuk menciptakan perilaku hidup bersih dan sehat sebagai senjata ampuh untuk melawan berbagai penyakit. Sesuai dengan pepatah health is not everything but without health everything is nothing.

Prospek Kerja Perawat Di Luar Negeri

Inggris butuh 10.000, Jepang butuh 20.000, negara-negara Timur Tengah juga butuh ribuan, bahkan Amerika bisa mencapai angka ratusan ribu. Total dunia membutuhkan 2 juta per tahun untuk kebutuhan yang satu ini. Wah, butuh apa nih? Ternyata, butuh tenaga perawat! (Pikiran Rakyat, 2006).

Beberapa tahun terakhir ini, pengiriman tenaga kesehatan Indonesia ke luar negeri, khususnya perawat, menjadi perbincangan yang cukup hangat di berbagai kalangan. Di tengah semakin meningkatnya jumlah pengangguran terdidik dari tahun ke tahun, tentu merupakan hal yang melegakan bahwa perawat dari Indonesia dilaporkan berpeluang bekerja di Amerika Serikat (AS) dan negara-negara di Benua Eropa (Inggris, Belanda, Norwegia), Timur Tengah (Saudi Arabia, Uni Emirat Arab, Kuwait) dan kawasan Asia Tenggara (Singapura, Malaysia). Jumlah permintaan berkisar antara 30 orang sampai dengan tidak terbatas (BPPSDMK, 2007).

Kekurangan perawat di dalam negeri merupakan alasan utama negara-negara tersebut untuk menerima tenaga dari luar negeri. Di AS, misalnya, pada 2005 mengalami kekurangan 150.000 perawat, pada 2010 jumlah tersebut menjadi 275.000, pada 2015 sejumlah 507.000, dan pada 2020 menjadi 808.000 perawat. Namun demikian, kekurangan tersebut tersebut menyebabkan mereka lebih berfokus pada bagaimana menghasilkan perawat yang lebih banyak, bukan untuk mencetak perawat yang berpendidikan lebih baik (Bartels JE, 2005).

Di Indonesia, Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan (PPSDM Kesehatan) melaporkan bahwa jumlah terbesar Tenaga Kesehatan Profesional Indonesia (TKPI) yang telah bekerja di luar negeri mulai 1989 sampai dengan 2003 adalah perawat (97.48% dari total sebanyak 2494 orang). Meskipun jumlah perawat yang bekerja di luar negeri menempati prosentase terbesar dibandingkan tenaga kesehatan yang lain, masih terdapat beberapa poin penting yang perlu menjadi perhatian dan ditanggulangi mulai dari saat ini.

Dari beberapa laporan diketahui bahwa kendala utama yang dihadapi oleh para perawat Indonesia adalah kemampuan berbahasa Inggris dan ketrampilan yang masih kurang. Berkenaan dengan ketrampilan perawat Indonesia yang masih kurang, terlihat dari segi skoring NLEX (National License Examination) yang masih rendah. Ujian NLEX sendiri merupakan prasyarat perawat Indonesia untuk dapat bekerja di luar negeri. Sebagai gambaran, skor yang diperoleh perawat Indonesia adalah angka 40. Padahal skoring yang dibutuhkan untuk bekerja di Eropa antara 50 sampai 70 dan di AS antara 70 sampai 80 (Pusdiknakes, 2007).

Dua hal tersebut tampaknya perlu untuk segera ditanggulangi selain faktor-faktor lain yang belum teridentifikasi dalam tulisan ini. Beranjak dari hal inilah sebenarnya lembaga pendidikan keperawatan di Indonesia dapat mulai ikut berperan aktif dalam merumuskan strategi yang tepat dalam mendidik calon perawat. Laporan tentang pengalaman perawat yang berkerja di luar negeri perlu disampaikan dalam tulisan ini agar kita dapat memperoleh gambaran yang lebih menyeluruh. Sampai saat ini penulis belum menemukan laporan penelitian yang terkait dengan pengalaman perawat Indonesia yang bekerja di luar negeri. Di lain pihak, kebanyakan laporan penelitian di negara lain terkait topik tersebut menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Dilaporkan bahwa alasan yang mendorong seorang perawat untuk bekerja di luar negeri antara lain gaji yang lebih tinggi, prospek karir dan pendidikan yang lebih menjanjikan (Buchan, J. & Calman, L, 2007).

Pada review penelitian oleh Magnusdottir (2005), penelitian Yi & Jezewski (2000) tentang penyesuaian diri 12 Perawat Korea yang bekerja di rumah sakit di AS melaporkan bahwa pada 2-3 tahun pertama mereka bekerja ditandai dengan usaha mengurangi stress psikologis, mengatasi kendala bahasa, dan menyesuaikan diri dengan praktek keperawatan di USA. Kemudian pada 5 - 10 tahun kemudian ditandai dengan belajar mengadopsi strategi penyelesaian masalah menurut budaya AS dan memelihara hubungan interpersonal. Mereka yang berhasil dalam proses tersebut dilaporkan merasa puas. Kendala-kendala di atas merupakan tantangan bagi perawat Indonesia untuk menunjukkan kemampuannya dalam upaya memenangkan persaingan di tingkat global.

Sumber : Nursalam, 2007

PEMBERDAYAAN KADER MASYARAKAT SECARA ACTIVE CASE FINDING SEBAGAI UPAYA PENANGGULANGAN OUTBREAK TB PARU

TB Paru dilaporkan kembali outbreak di daerah Malang,Jatim, , bahkan tidak tanggung-tanggung angka kejadian TB Paru mencapai 100% (Kompas, 22/2). Tentunya hal ini bisa menjadi iklan buruk bagi kinerja pemerintah sekarang khususnya Departemen Kesehatan dan dinkes setempat. Walaupun permasalahan TB Paru itu sendiri tidak menjadi tanggung jawab sector kesehatan semata tetapi hal ini bisa dijadikan cambuk dan evaluasi bagi kinerja bidang kesehatan dalam rangka mensukseskan program pemberantasan TB Paru di Indonesia.

TB Paru tidak hanya menjadi masalah di negara kita tetapi penyakit yang menyerang organ pernafasan ini telah dinyatakan sebagai bahaya global. WHO sendiri memberikan predikat kepada bangsa kita sebagai penyumbang kasus TB Paru terbesar ketiga setelah India dan Cina. Berbagai riset dan pengembangan terapi mutakhir tentang TB Paru sedang dikembangkan tetapi seakan-akan hal tersebut tidak mampu membendung penyebaran bakteri tahan asam tersebut.

Sampai saat ini pemerintah mengadopsi sistem DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) sebagai rekomendasi standar WHO bagi pemberantasan penyakit TB Paru. Metode DOTS menetapkan bahwa pengobatan TB Paru diberikan selama enam bulan dan diharapkan pada dua bulan pertama pengobatan terjadi konversi dari BTA (Basil Tahan Asam) positif menjadi BTA negatif. Para ahli berpendapat bahwa angka kesembuhan (cure rate) dan angka konversi dengan metode DOTS cukup tinggi tetapi di satu sisi prevalensi (angka kejadian) TB Paru juga meningkat. Laporan Dinkes Propinsi Jatim tahun 2000 menunjukkan angka penemuan penderita baru sebesar 4,4% (target 10%), sedangkan angka konversi penderita baru sebesar 36,5% (target 80%). Angka kejadian TB Paru yang tinggi disebabkan kuman TB disebarkan melalui udara. Droplet yang mengandung kuman TB siap menginfeksi orang yang sehat dengan masa inkubasi relatif singkat. Prevalensi TB Paru yang tinggi salah satunya disebabkan kurang optimalnya metode DOTS yang lebih menekankan pada metode pasif (passive case finding). Pasif yang dimaksudkan disini adalah penjaringan tersangka penderita TB Paru dilakukan pada penderita yang berkunjung ke unit pelayanan kesehatan atau Puskesmas setempat. Metode ini memiliki beberapa kelemahan diantaranya hanya dapat menjaring penderita yang datang ke puskesmas saja. Selain itu penderita yang datang biasanya sudah dalam keadaan kronis atau parah, hal ini sangat berhubungan dengan sosiokultur masyarakat kita yang lebih menekankan upaya kuratif daripada preventif. Dampak buruk dari penderita yang tidak tercakup, baik untuk pemeriksaan maupun pengobatan menjadi sumber penularan yang potensial.

Mengingat keterbatasan metode DOTS secara pasif maka perlu dipertimbangkan penggunaan metode DOTS secara aktif (active case finding) oleh kader masyarakat. Metode active case finding adalah cara menjaring penderita TB Paru yang tidak berkunjung ke Puskesmas yang dilakukan oleh kader masyarakat. Pemberdayaan kader masyarakat dalam bidang kesehatan bukanlah hal baru, namun konsep active case finding yang melibatkan peran aktif kader masyarakat khususnya dalam penanggulangan TB Paru hingga kini belum diaplikasikan di seluruh wilayah Indonesia dan dikenal secara luas. Kader masyarakat yang sebelumnya memperoleh pendidikan kesehatan mengenai TB Paru diharapkan melakukan pengawasan (surveillance) aktif di lingkungan RT-nya untuk mencari serta menemukan penderita suspect TB Paru. Selanjutnya kader tersebut memotivasi penderita dan keluarga untuk segera berobat ke Puskesmas terdekat. Dengan cara ini diharapkan penderita TB Paru yang tidak berobat dapat diperiksa dan diobati semenjak dini sehingga dapat mencegah angka penularan dan lebih jauh lagi dapat menurunkan prevalensi serta mencegah outbreak TB Paru.

Kader masyarakat tersebut juga bisa melakukan supervisi terhadap pengawas menelan obat (PMO) yang berasal dari keluarga. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa metode DOTS mewajibkan adanya pengawas menelan obat untuk menjamin keteraturan penderita meminum obat. PMO yang disarankan berasal dari keluarga penderita itu sendiri dengan asumsi mereka lebih dekat dan mengamati secara langsung keteraturan minum obat. Kader masyarakat yang melakukan supervisi terhadap PMO diharapkan mampu mencegah drop out pengobatan. Untuk menjamin keberlangsungan program tersebut diharapkan adanya reward yang diberikan kepada kader masyarakat. Reward yang diberikan dapat berupa pengobatan cuma-cuma bagi keluarga kader yang sakit ataupun hasil kesepakatan antara puskesmas, pemerintah daerah, kader serta dinkes setempat.

Permasalahan TB Paru bukan hanya menjadi tanggung jawab sektor kesehatan saja tetapi memerlukan komitmen semua sektor baik pendidikan, agama dan segenap elemen masyarakat. Dukungan politis serta dukungan finansial diperlukan mengingat TB Paru sebagian besar menyerang kelompok masyarakat menengah ke bawah. Keterbatasan akses masyarakat miskin terhadap pelayanan kesehatan akan semakin mempercepat penyebaran TB Paru, disinilah peranan pemerintah diperlukan dalam upaya menciptakan kebijakan pro rakyat miskin.

Pelaksanaan DOTS secara aktif oleh kader masyarakat dan didukung oleh kerjasama holistik antar seluruh komponen masyarakat diharapkan dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas TB Paru sehingga diharapkan outbreak TB Paru dapat dicegah.

KOPING ADAPTASI MENARCHE SEBAGAI STRATEGI PENINGKATAN KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA

Menarche merupakan menstruasi pertama yang biasa terjadi dalam rentang usia 10 – 16 tahun atau pada masa awal remaja. Menarche merupakan suatu tanda awal adanya perubahan lain seperti pertumbuhan payudara, pertumbuhan rambut daerah pubis dan aksila, serta distribusi lemak pada daerah pinggul.

Selama ini sebagian masyarakat merasa tabu untuk membicarakan tentang masalah menstruasi dalam keluarga, sehingga remaja awal kurang memiliki pengetahuan dan sikap yang cukup baik tentang perubahan – perubahan fisik dan psikologis terkait menarche. Kesiapan mental sangat diperlukan sebelum menarche karena perasaan cemas dan takut akan muncul, selain itu juga kurangnya pengetahuan tentang perawatan diri yang diperlukan saat menstruasi.

Masalah fisik yang mungkin timbul dari kurangnya pengetahuan itu adalah kurangnya personal hygiene sehingga dapat beresiko untuk terjadinya infeksi pada saluran Kemih (ISK). Pada tahun 1999, insiden ISK di Inggris Utara pada usia 16 tahun adalah sekitar 3,6 % pada ana laki – laki dan 11,6 % pada anak wanita. Juga dapat dikatakan kejadian ISK pada wanita sekitar 3 -4 kali dibandingkan pada laki – laki. Diduga salah satu faktor penyebabnya adalah karena uretra wanita ebih pendek daripada laki – laki. Selain itu ksulitan yang lain yang timbul adalah dalam proses perawatan diri yaitu pemenuhan personal diri saat menarche., Hal ini dapat timbul karena sikap tertutup masyarakat dan lingkungan terhadap hal seperti itu (IDAI Cab Jatim 2003). Sekitar 50 % dari anak perempuan yang sebelumnya pernah mengalami ISK akan mengalami kelainan struktur saluran kemih. ISK juga akan mengganggu sirkulasi dengan terbentuknya jaringan parut yang merupakan faktor predisposisi terjadinya gagal ginjal kronik dan hipertensi.

Pendidikan tentang kesehatan reproduksi merupakan masalah penting yang perlu mendapatkan perhatian dari semua pihak. Pada masa remaja, pertumbuhan fisik dan seksualnya mulai berkembang dengan pesat. Remaja yang kelak akan menikah dan menjadi orang tua sebaiknya mempunyai kesehatan reproduksi yang prima, sehingga menghasilkan generasi yang sehat (Manuaba, 1998). Di lingkungan masyarakat, tokoh masyarakat baik orang tua atapun remaja itu sendiri harus lebih terbuka tentang masalah kesehatan teutama kesehatan reproduksi

Monday, November 26, 2007

Konsep Dasar Metode Kanguru

Pengertian Metode Kanguru

Kangaroo mother care (KMC), defined as skin-to-skin contact between a mother and her newborn, frequent and exclusive or nearly exclusive breastfeeding, and early discharge from hospital, has been proposed as an alternative to conventional neonatal care for low birthweight (LBW) infants (Conde-Agudello et all, 2000).

Manfaat Metode Kanguru

Secara klinis, dengan cara ini detak jantung bayi stabil dan pernapasannya lebih teratur, sehingga penyebaran oksigen ke seluruh tubuhnya pun lebih baik. Selain itu, cara ini mencegah bayi kedinginan. Bayi dapat tidur dengan nyenyak dan lama, lebih tenang, lebih jarang menangis, dan kenaikan berat badannya menjadi lebih cepat. Pertumbuhan dan perkembangan motorik pun menjadi lebih baik. Cara ini juga mempermudah pemberian ASI, mempererat ikatan batin antara ibu dan anak, serta mempersingkat masa perawatan secara keseluruhan. Bagi orang tua, hal ini turut menumbuhkan rasa percaya diri dan kepuasan bekerja. Perawatan bayi lekat atau metode kanguru ini sederhana, praktis, efektif, dan ekonomis, sehingga bisa dilakukan oleh setiap ibu atau pengganti ibu di rumah ataupun di Puskesmas, terutama dalam mencegah kematian BBLR (Luize, 2003).

Mekanisme Kerja Perawatan Metode Kanguru

Pada dasarnya mekanisme kerja Perawatan Metode Kanguru adalah sama seperti perawatan canggih dalam inkubator yang berfungsi sebagai termoregulator memberikan lingkungan yang termonetral bagi setiap neonatus melalui aliran panas konduksi dan radiasi. Lingkungan termoral adalah lingkungan suhu agar bayi dapat mempertahankan optimal (36,5-37,5 0C) dengan mengeluarkan energi/kalori yang minimal, terutama bagi BBLR yang persediaan atau sumber kalorinya sangat terbatas. Pengaliran panas melalui konduksi adalah identik kontak kulit ibu-bayi seperti dalam inkubator konduksi panas dari badan inkubator ke kulit bayi. Pengaliran panas melalui radiasi adalah udara hangat di dalam inkubator seperti udara hangat dalam/antara selimut/baju kanguru dan bayi. Proses hantaran panas tersebut berlangsung terus-menerus selama dibutuhkan oleh BBLR baik dalam inkubator maupun dalam Perawatan Metode Kanguru, oleh karena itu Perawatan Metode Kanguru hanya dikerjakan selama dibutuhkan oleh neonatus sampai bayi bisa mandiri tanpa harus dirawat dalam inkubator, yaitu sekitar BB mencapai 2500 gram. Sehingga Perawatan Metode Kanguru harus terus menerus dilakukan bergantian oleh bapak, ibu, tante dan neneknya (Usman,2001).

Metode dan Waktu Pelaksanaan

Tahapan penggunaan Metode Kanguru menurut Perinasia meliputi :

1. Persiapan ibu.

a. Membersihkan daerah dada dan perut dengan cara mandi dengan sabun 2-3 kali sehari.

b. Membesihkan kuku dan tangan

c. Baju yang dipakai harus bersih dan hangat sebelum dipakai

d. Selama pelaksanaan Metode Kanguru ibu tidak memakai BH

e. Bagian bawah baju diikat dengan pengikat baju atau kain

f. Memakai kain baju yang dapat direnggang

2. Persiapan bayi

a. Bayi jangan dimandikan, tetapi cukup dibersihkan dengan kain bersih dan hangat

b. Bayi perlu memakai tutup kepala atau topi dan popok selama penggunaan metode ini.

c. Posisi bayi vertikal ditengah payudara atau sedikit ke samping kanan/kiri sesuai dengan kenyamanan bayi serta ibu. Usahakan kulit bayi kontak langsung dengan kulit ibunya terus menerus.

d. Saat ibu duduk atau tidur posisi bayi tetap tegak mendekap ibu

e. Setelah bayi dimasukkan ke dalam baju, ikat kain selendang di sekeliling atau mengelilingi ibu dan bayi.

Prinsip metode ini adalah menggantikan perawatan bayi baru lahir dalam inkubator dengan meniru kanguru. Ibu bertindak seperti ibu kanguru yang mendekap bayinya dengan tujuan mempertahankan suhu bayi stabil dan optimal (36,50C - 37,50C). Suhu optimal ini diperoleh dengan kontak langsung kulit bayi dengan secara terus-menerus. Bayi yang dapat bertahan dengan cara ini adalah yang keadaan umumnya baik, suhu tubuhnya stabil (36,50C - 37,50C), dan mampu menetek. Metode ini dihentikan jika bayi telah mencapai bobot badan minimal 2500 g dan suhu tubuh optimal 370C, dan bayi bisa menetek kuat.

Pelaksanaan Metode Kanguru dapat dilakukan pada waktu:

a. Segera setelah lahir

b. Sangat awal, setelah 10-15 menit

c. Awal, setelah umur 24 jam

d. Menengah, setelah 7 hari perawatan

e. Lambat, setelah bayi bernafas sendiri tanpa O2

f. Setelah keluar dari perawatan inkubator

Kriteria keberhasilan Perawatan Metode Kanguru adalah:

a. Suhu tubuh bayi stabil dan optimal (36,50C -37,50C)

b. Kenaikan berat badan stabil

a. Produksi ASI adekuat

b. Bayi tumbuh dan berkembang optimal

c. Bayi dapat menetek kuat seperti normalnya

Thursday, November 22, 2007

Posisi Pendidikan Kesehatan Dalam Menentukan Status Kesehatan

Blum mengidentifikasi empat faktor utama yang berpengaruh terhadap status kesehatan, yaitu keturunan, lingkungan, pelayanan kesehatan dan perilaku. Keturunan termasuk dalam faktor utama, karena sifat genetik diturunkan oleh orang tua kepada keturunannya. Sifat genetik ini sebagian bertanggung-jawab terhadap kapasitas fisik dan mental keturunannya. Lingkungan terdiri dari lingkungan fisik dan sosial. Limgkungan fisik dapat menjadi kekuatan yang buruk dan merusak kesehatan manusia. Ketidaksetaraan dalam organisasi sosial mendorong terjadinya kemiskinan yang secara langsung memberikan kontribusi terhadap masalah-masalah kesehatan. Bagaimana masalah-masalah kesehatan dipecahkan sangat tergantung pada pengorganisasian dan pelaksanaan pelayanan kesehatan. Perilaku kesehatan (health behaviour) juga menentukan status kesehatan. Perubahan perilaku menuju ke arah hidup yang kondusif untuk kesehatan dilakukan melalui pendidikan kesehatan.

Menurut WHO (1986), yang dimaksud dengan perilaku kesehatan (health behaviour) adalah aktivitas apapun yang dilakukan oleh individu tanpa memandang status kesehatan aktualnya maupun status kesehatan menurut persepsi individu tersebut- yang bertujuan untuk meningkatkan, melindungi atau mempertahankan kesehatannya, tanpa mempertimbangkan apakah perilaku tersebut efektif untuk mencapai tujuan tersebut. Istilah ini harus dibedakan dengan perilaku berisiko (risk behaviour) yang berarti perilaku yang berhubungan dengan peningkatan kerentanan terhadap penyakit tertentu.

Sebagaimana disebutkan dalam definisi di atas, pendidikan kesehatan adalah proses yang direncanakan dengan sadar untuk menciptakan peluang bagi individu-individu untuk senantiasa belajar memperbaiki literacy, meningkatkan pengetahuan dan life skills nya demi kepentingan kesehatannya. Dengan demikian perlu perencanaan. Ada beberapa model perencanaan pendidikan kesehatan, namun dalam makalah ini hanya dibahas sebagian dari model perencanaan PRECEDE yang dikemukakan oleh Green dan usulan praktisi (Departemen Kesehatan) dalam penerapannya. Selain itu, oleh karena tujuan pendidikan kesehatan adalah mengubah perilaku, maka perlu diketahui perilaku siapa yang akan diubah (sasaran) dan teori-teori apa yang mendasari proses perubahan perilaku tersebut itu. Kemudian baru dapat dipilih metode yang sesuai dengan tujuan spesifik pendidikan kesehatan yaitu perubahan pengetahuan (kognisi), perubahan sikap (pengertian, motivasi) atau perubahan praktek (mendapatkan akses informasi kesehatan, mempergunakan informasi) untuk meningkatkan atau mempertahankan kesehatannya.

Jika kesehatan akan diperbaiki dengan membantu individu mengubah gaya hidupnya, maka kegiatan yang dilakukan bukan hanya ditujukan terhadap individu tersebut namun juga terhadap kondisi sosial dan kondisi kehidupan yang membuat individu mempertahankan pola perilakunya tersebut. Berdasarkan pemikiran tersebut, Lawrence Green mengusulkan perencanaan pendidikan kesehatan melalui PRECEDE framework (kerangka kerja Precede) dan PROCEED framework sebagai terapi terhadap perilaku lama. PRECEDE merupakan akronim predisposing, reinforcing and enabling constructs in ecosystem diagnosis and evaluation. Sedangkan PROCEDE merupakan akronim policy, regulating or resourcing, and organizing for educational and environmental development evaluation. Jika PRECEDE merupakan diagnosis, PROCEDE adalah terapi dalam pendidikan kesehatan. Dalam PRECEDE framework, berisi dua kegiatan yaitu diagnosis dan evaluasi ekosistem. Evaluasi ekosistem merupakan assessment yang hasilnya dipergunakan untuk mendiagnosis ekosistem. Diagnosis ekosistem berisi kegiatan penilaian kualitas hidup melalui penilaian umum terhadap masalah-masalah sosial. Kemudian dilakukan identifikasi masalah-masalah kesehatan yang tampaknya berpengaruh terhadap masalah sosial ini. Selanjutnya diidentifikasi perilaku-perilaku khusus yang tampaknya berkaitan dengan masalah kesehatan tersebut dilanjutkan dengan melokalisir perilaku (diagnosis perilaku). Langkah selanjutnya adalah menegakkan diagnosis edukasional yaitu menentukan faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), pemungkin (enabling factors) dan penguat (reinforcing factors) yang berpotensi mempengaruh perilaku kesehatan yang telah diidentifikasi tersebut. Ketiga faktor tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

1). Faktor-faktor predisposisi (Predisposing factor)

Faktor-faktor ini mencakup, pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi, dan sebagainya. Ikhwal ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Untuk berperilaku kesehatan, misalnya : pemeriksaan kesehatan bagi ibu hamil diperlukan pengetahuan dan kesadaran ibu tersebut tentang manfaat pemeriksaan hamil, baik bagi kesehatan ibu sendiri dan janinnya. Disamping itu, kadang-kadang kepercayaan, tradisi dan sistem nilai masyarakat juga dapat mendorong atau menghambat ibu untuk periksa hamil. Misalnya, orang hamil tidak boleh disuntik (pemeriksa hamil termasuk memperoleh suntikan anti tetanus), karena suntikan bisa menyebabkan anak cacat. Faktor-faktor ini terutama yang positif akan mempermudah terwujudnya perilaku baru maka sering disebut faktor yang memudahkan.

2). Faktor-faktor pemungkin (Enabling factors)

Faktor-faktor ini mencakup ketersedian sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat, misalnya: air bersih, tempat pembuangan sampah, tempat pembuangan tinja, tersedianya makanan yang bergizi, dan sebagainya. Termasuk juga fasilitas pelayanan kesehatan seperti puskesmas, rumah sakit, poliklinik, posyandu, polindes, pos obat desa, dokter atau bidan praktek suasta (BPS), dan sebagainya. Untuk berperilaku sehat, masyarakat memerlukan sarana dan prasarana pendukung, misalnya : perilaku pemeriksaan kehamilan. Ibu hamil yang mau periksa hamil tidak hanya karena ia tahu dan sadar manfaat periksa hamil saja, melainkan ibu tersebut dengan mudah harus dapat memperoleh fasilitas atau tempat periksa hamil, misalnya : puskesmas, polindes, bidan praktik, ataupun rumah sakit. Fasilitas ini pada hakikatnya mendukung untuk atau memungkinkan terwujudnya perilaku kesehatan, maka faktor-faktor ini disebut faktor pendukung, atau faktor pemungkin.

3). Faktor-faktor penguat (Reinforcing factors)

Faktor-faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat (toma), tokoh agama (toga), sikap dan perilaku para petugas termasuk petugas kesehatan. Termasuk juga di sini undang-undang, peraturan-peraturan baik dari pusat maupun pemerintahan daerah yang terkait dengan kesehatan. Untuk berperilaku sehat, masyarakat kadang-kadang bukan hanya perlu pengetahuan dan sikap positif serta dukungan fasilitas saja, melainkan diperlukan perilaku contoh (acuan) dari para tokoh masyarakat, tokoh agama, para petugas, lebih-lebih para petugas kesehatan. Disamping itu undang-undang juga diperlukan untuk memperkuat perilaku masyarakat tersebut. Seperti perilaku pemeriksaan hamil, serta kemudahan memperoleh fasilitas pemeriksaan hamil, juga diperlukan peraturan atau perundang-undangan yang mengharuskan ibu hamil melakukan periksa hamil. Oleh sebab itu intervensi pendidikan hendaknya dimulai mendiagnosis 3 faktor penyebab (determinan) tersebut kemudian intervensinya juga diarahkan terhadap 3 faktor tersebut.

Pengorganisasian Komunitas

WHO (1974) mendefinisikan komunitas atau masyarakat sebagai suatu pengelompokan sosial yang ditentukan oleh batas-batas geografi serta kesamaan nilai-nilai dan interes. Pada umumnya anggota-anggotanya saling mengenal dan berinteraksi. Komunitas berfungsi dalam struktur sosial tertentu serta menerapkan dan membentuk norma-norma tertentu pola. Pembangunan kesehatan masyarakat merupakan bagian integral dari suatu pembangunan kesehatan nasional, selain itu juga merupakan bagian integral dari pembangunan sosial dan ekonomi masyarakat. Keterlibatan masyarakat dalam perencanaan, pengorganisasian, dan pengelolaan upaya kesehatan termasuk upaya perawatan diri, pada akhirnya akan menjadi tumpuan kemandirian masyarakat dalam hal kesehatan.

Berbagai kegiatan masyarakat dalam upaya kesehatan telah banyak dilaksanakan di desa (kelurahan) dengan budaya kerja sama, gotong royong dan musyawarah serta peluang-peluang kemandirian mereka seperti kemandirian dalam pembiayaan kesehatan. Peran serta masyarakat merupakan hal yang mutlak perlu dilakukan dalam pembangunan kesehatan. Kesehatan merupakan kebutuhan dan hak setiap insan agar dapat menjalani hidup yang produktif dan bahagia. Agar setiap orang dimanapun dan kapanpun dapat memperoleh hidup sehat, kesehatan harus menjadi kemampuan yang melekat pada setiap insan. Hal ini hanya dapat dicapai bila masyarakat, baik secara individu maupun kelompok, berperan serta untuk meningkatkan kemampuan hidup sehatnya. Kemandirian masyarakat untuk mengatasi masalah kesehatan dan menjalankan upaya pemecahannya sendiri adalah kunci kelangsungan pembangunan.

Hendrik Blum (1974) selain membagi komunitas berdasarkan geopolitik juga berdasarkan interaksi yang berlangsung seperti nampak pada jenis-jenis komunitas yang dijabarkan sebagai berikut :

1. Komunitas temu muka (face to face)

2. Komunitas menurut kewilayahan/administrasi pemerintahan

3. Komunitas menurut kesamaan kebutuhan

4. Komunitas berdasarkan masalah ekologi

5. Komunitas berdasarkan interes tertentu

6. Komunitas berdasarkan sumber daya atau pemecahan masalah

2. Tujuan dan Sasaran

2.1 Tujuan Umum

Meningkatnya jumlah dan mutu kegiatan masyarakat dibidang kesehatan.

2.2 Tujuan Khusus

  1. Meningkatkan kemampuan pemimpin/tokoh masyarakat dalam merintis dan menggerakkan upaya kesehatan di masyarakat,
  2. Meningkatkan kemampuan organisasi masyarakat dalam penyelenggaraan upaya kesehatan,
  3. Meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengatasi masalah kesehatan secara mandiri,
  4. Meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menggali, menghimpun, dan mengelola dana / sarana masyarakat untuk upaya kesehatan.

2.3 Sasaran

Sasaran peningkatan peran serta masyarakat dalam pembangunan kesehatan adalah :

@ Individu yang berpengaruh atau tokoh masyarakat, baik formal maupun informal

@ Keluarga

@ Kelompok masyarakat dengan kebutuhan khusus kesehatan, seperti : remaja, wanita, angkatan kerja dan lain-lain.

@ Organisasi masyarakat yang secara langsung maupun tidak langsung dapat menyelenggarakan upaya kesehatan seperti : organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat dan sebagainya.

@ Masyarakat umum di desa (kelurahan), di kota dan di pemukiman khusus.

Wednesday, November 21, 2007

Pengembangan Komunitas

Adalah suatu usaha-usaha yang menyadarkan dan menanamkan pengertian kepada masyarakat agar dapat menggunakan dengan lebih baik semua potensi yang dimiliki untuk mencapai kesejahteraan yang lebih baik.

Nies dan Mc. Ewan (2001) mendeskripsikan pengembangan kesehatan masyarakat (community health development) sebagai pendekatan dalam pengorganisasian masyarakat yang mengkombinasikan konsep, tujuan, dan proses kesehatan masyarakat dan pembangunan masyarakat. Dalam pengembangan kesehatan masyarakat, perawat komunitas mengidentifikasikan kebutuhan masyarakat yang berkaitan dengan kesehatan kemudian mengembangkan, mendekatkan, dan mengevaluasi tujuan-tujuan pembangunan kesehatan melalui kemitraan dengan profesi terkait lainnya (Nies & Mc.Ewan, 2001; CHNAC, 2003; Diem & Moyer, 2004; Falk-Rafael, et al.,1999).

Bidang tugas perawat komunitas tidak bisa terlepas dari kelompok masyarakat sebagai klien termasuk sub-sub sistem yang terdapat di dalamnya, yaitu: individu, keluarga, dan kelompok khusus. Menurut Nies dan McEwan (2001), perawat komunitas dalam melakukan upaya peningkatan, perlindungan dan pemulihan status kesehatan masyarakat dapat menggunakan alternatif model pengorganisasian masyarakat, yaitu : perencanaan sosial, aksi sosial atau pengembangan masyarakat. Berkaitan dengan pengembangan kesehatan masyarakat yang relevan, maka penulis mencoba menggunakan pendekatan pengorganisasian masyarakat dengan model pengembangan masyarakat (community development).

Asumsi dasar mekanisme kolaborasi perawat komunitas dengan masyarakat tersebut adalah hubungan kemitraan yang dibangun memiliki dua manfaat sekaligus yaitu meningkatnya partisipasi aktif masyarakat dan keberhasilan program kesehatan masyarakat (Kreuter, Lezin, & Young, 2000). Mengikutsertakan masyarakat dan partisipasi aktif mereka dalam pembangunan kesehatan dapat meningkatkan dukungan dan penerimaan terhadap kolaborasi profesi kesehatan dengan masyarakat (Schlaff, 1991; Sienkiewicz, 2004). Dukungan dan penerimaan tersebut dapat diwujudkan dengan meningkatnya sumber daya masyarakat yang dapat dimanfaatkan, meningkatnya kredibilitas program kesehatan, serta keberlanjutan koalisi perawat komunitas-masyarakat (Bracht, 1990).

Langkah-langkah dalam pengembangan komunitas :

@ Ciptakan agar masyarakat dapat mengenal dan memanfaatkan potensi yang ada

@ Tingkatkan mutu potensi yang ada

@ Pertahankan dan tingkatkan kegiatan-kegiatan yang sudah ada

@ Tingkatkan kesejahteraan masyarakat dengan memanfaatkan potensi yang ada.

Katalis Dalam Keperawatan Komunitas

Katalis disini dapat diartikan seseorang atau sesuatu yang medorong adanya perubahan. Katalis dapat mengarahkan pada dialog yang efektif dalam komunitas, memfasilitasi tindakan kolektif dan memecahkan masalah yang umum terjadi. Ada enam jenis katalis, diantaranya :

  1. stimulus internal

stimulus dari dalam komunitas dapat terjadi jika masyarakat sadar akan masalah kesehatan yang ada di wilayahnya, contoh : meningkatnya jumlah unggas yang terkena flu burung di wilayahnya secara otomatis akan menyadarkan komunitas akan pentingnya dialog untuk memecahkan masalah tersebut.

2. Change agent

Sebagai seorang perawat komunitas kita dituntut untuk berperan sebagai change agent di dalam komunitas. Perawat komunitas harus menyadarkan masyarakat akan masalah-masalah kesehatan yang memerlukan perubahan sosial.

3. Inovasi

Perawat komunitas juga dituntut untuk selalu berpikir kreatif dalam memecahkan masalah-masalah kesehatan yang ada di komunitas.

4. Kebijakan

Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah seharusnya dapat menstimulus komunitas untuk bertindak, seperti gerakan massal pemberantasan DBD dengan kewajiban melakukan 3M di rumah masing-masing.

5. Ketersediaan teknologi

Perkembangan teknologi terkini khususnya teknologi kesehatan seyogyanya selalu diikuti oleh perawat komunitas. Hal ini akan memudahkan pekerjaan kita ketika bersinggungan dengan masyarakat, contoh adanya metode kontrasepsi non hormonal akan menstimulasi komunitas untuk mempertimbangkan ulang penggunaan kontrasepsi hormonal yang lebih beresiko.

6. Media massa

Media massa berfungsi untuk mengubah opini publik yang dirancang untuk mengubah perilaku individu atau kelompok agar dapat mengadopsi hal-hal baru yang disampaikan oleh perawat komunitas.

Home Care / Perawatan Kesehatan di Rumah

Pengertian

Perawatan kesehatan di rumah merupakan salah satu jenis dari perawatan jangka panjang (Long term care) yang dapat diberikan oleh tenaga profesional maupun non profesional yang telah mendapatkan pelatihan. Perawatan kesehatan di rumah yang merupakan salah satu bentuk pelayanan kesehatan adalah suatu komponen rentang pelayanan kesehatan yang berkesinambungan dan komprehensif diberikan kepada individu dan keluarga di tempat tinggal mereka yang bertujuan untuk meningkatkan, mempertahankan atau memulihkan kesehatan serta memaksimalkan tingkat kemandirian dan meminimalkan akibat dari penyakit termasuk penyakit terminal. Pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan pasien individual dan keluarga, direncanakan, dikoordinasi dan disediakan oleh pemberi pelayanan yang diorganisir untuk memberi home care melalui staf atau pengaturan berdasarkan perjanjian atau kombinasi dari keduanya (Warhola C, 1980).

Sherwen (1991) mendefinisikan perawatan kesehatan di rumah sebagai bagian integral dari pelayanan keperawatan yang dilakukan oleh perawat untuk membantu individu, keluarga dan masyarakat mencapai kemandirian dalam menyelesaikan masalah kesehatan yang mereka hadapi. Sedangkan Stuart (1998) menjabarkan perawatan kesehatan di rumah sebagai bagian dari proses keperawatan di rumah sakit, yang merupakan kelanjutan dari rencana pemulangan (discharge planning), bagi klien yang sudah waktunya pulang dari rumah sakit. Perawatan di rumah ini biasanya dilakukan oleh perawat dari rumah sakit semula, dilaksanakan oleh perawat komunitas dimana klien berada, atau dilaksanakan oleh tim khusus yang menangani perawatan di rumah.

Menurut American of Nurses Association (ANA) tahun 1992 pelayanan keseatan di rumah adalah perpaduan perawatan kesehatan masyarakat dan ketrampilan teknis yang terpilih dari perawat spesialis yang terdiri dari perawat komunitas, perawat gerontologi, perawat psikiatri, perawat maternitas dan perawat medikal bedah. Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan perawatan kesehatan di rumah adalah :

@ Suatu bentuk pelayanan kesehatan yang komprehensif bertujuan memandirikan klien dan keluarganya,

@ Pelayanan kesehatan diberikan di tempat tinggal klien dengan melibatkan klien dan keluarganya sebagai subyek yang ikut berpartisipasi merencanakan kegiatan pelayanan,

@ Pelayanan dikelola oleh suatu unit/sarana/institusi baik aspek administrasi maupun aspek pelayanan dengan mengkoordinir berbagai kategori tenaga profesional dibantu tenaga non profesional, di bidang kesehatan maupun non kesehatan (Depkes, 2002).

Pelayanan keperawatan yang diberikan meliputi pelayanan primer, sekunder dan tersier yang berfokus pada asuhan keperawatan klien melalui kerjasama dengan keluarga dan tim kesehatan lainnya. Perawatan kesehatan di rumah adalah spektrum kesehatan yang luas dari pelayanan sosial yang ditawarkan pada lingkungan rumah untuk memulihkan ketidakmampuan dan membantu klien yang menderita penyakit kronis (NAHC, 1994).

B. Perkembangan Perawatan Kesehatan di Rumah

Sejauh ini bentuk-bentuk pelayanan kesehatan yang dikenal masyarakat dalam sistem pelayanan kesehatan adalah pelayanan rawat inap dan rawat jalan. Pada sisi lain banyak anggota masyarakat yang menderita sakit karena berbagai pertimbangan terpaksa dirawat di rumah dan tidak dirawat inap di institusi pelayanan kesehatan. Faktor-faktor yang mendorong perkembangan perawatan kesehatan di rumah adalah :

@ Kasus-kasus penyakit terminal dianggap tidak efektif dan tidak efisien lagi apabila dirawat di institusi pelayanan kesehatan. Misalnya pasien kanker stadium akhir yang secara medis belum ada upaya yang dapat dilakukan untuk mencapai kesembuhan,

@ Keterbatasan masyarakat untuk membiayai pelayanan kesehatan pada kasus-kasus penyakit degeneratif yang memerlukan perawatan yang relatif lama. Dengan demikian berdampak pada makin meningkatnya kasus-kasus yang memerlukan tindak lanjut keperawatan di rumah. Misalnya pasien pasca stroke yang mengalami komplikasi kelumpuhan dan memerlukan pelayanan rehabilitasi yang membutuhkan waktu relatif lama,

@ Manajemen rumah sakit yang berorientasi pada profit, merasakan bahwa perawatan klien yang sangat lama (lebih 1 minggu) tidak menguntungkan bahkan menjadi beban bagi manajemen,

@ Banyak orang merasakan bahwa dirawat inap di institusi pelayanan kesehatan membatasi kehidupan manusia, karena seseorang tidak dapat menikmati kehidupan secara optimal karena terikat dengan aturan-aturan yang ditetapkan,

@ Lingkungan di rumah ternyata dirasakan lebih nyaman bagi sebagian klien dibandingkan dengan perawatan di rumah sakit, sehingga dapat mempercepat kesembuhan (Depkes, 2002).

Perawatan kesehatan di rumah bertujuan :

1. Membantu klien memelihara atau meningkatkan status kesehatan dan kualitas hidupnya,

2. Meningkatkan keadekuatan dan keefektifan perawatan pada anggota keluarga dengan masalah kesehatan dan kecacatan,

3. Menguatkan fungsi keluarga dan kedekatan antar keluarga,

4. Membantu klien tinggal atau kembali ke rumah dan mendapatkan perawatan yang diperlukan, rehabilitasi atau perawatan paliatif,

5. Biaya kesehatan akan lebih terkendali.

Secara umum lingkup perawatan kesehatan di rumah dapat di kelompokkan sebagai berikut :

1. Pelayanan medik dan asuhan keperawatan

2. Pelayanan sosial dan upaya menciptakan lingkungan yang terapeutik

3. Pelayanan rehabilitasi dan terapi fisik

4. Pelayanan informasi dan rujukan

5. Pendidikan, pelatihan dan penyuluhan kesehatan

6. Higiene dan sanitasi perorangan serta lingkungan

7. Pelayanan perbaikan untuk kegiatan sosial

Menurut Rice R (2001) jenis kasus yang dapat dilayani pada perawatan kesehatan di rumah meliputi kasus-kasus yang umum pasca perawatan di rumah sakit dan kasus-kasus khusus yang di jumpai di komunitas.

Kasus umum yang merupakan pasca perawatan di rumah sakit adalah:

· Klien dengan penyakit obstruktif paru kronis,

· Klien dengan penyakit gagal jantung,

· Klien dengan gangguan oksigenasi,

· Klien dengan perlukaan kronis,

· Klien dengan diabetes,

· Klien dengan gangguan fungsi perkemihan,

· Klien dengan kondisi pemulihan kesehatan atau rehabilitasi,

· Klien dengan terapi cairan infus di rumah,

· Klien dengan gangguan fungsi persyarafan,

· Klien dengan HIV/AIDS.

Sedangkan kasus dengan kondisi khusus, meliputi :

· Klien dengan post partum,

· Klien dengan gangguan kesehatan mental,

· Klien dengan kondisi usia lanjut,

· Klien dengan kondisi terminal.

Tuesday, November 20, 2007

JAMINAN MUTU KEPERAWATAN KESEHATAN KOMUNITAS

Quality assurance in nursing community atau jaminan mutu dalam keperawatan komunitas merupakan salah satu pendekatan atau upaya yang sangat penting serta mendasar dalam memberikan layanan keperawatan kepada pasien. Sebagai seorang perawat komunitas yang profesional, kita harus selalu berupaya memberikan layanan keperawatan yang terbaik mutunya kepada semua pasien tanpa kecuali. Pendekatan jaminan mutu layanan keperawatan merupakan salah satu perangkat yang sangat berguna bagi mereka yang mengelola atau merencanakan layanan keperawatan. Pendekatan itu juga merupakan bagian dari ketrampilan yang sangat mendasar bagi setiap pemberi atau provider layanan kesehatan yang secara langsung melayani pasien.

Layanan keperawatan yang bermutu adalah layanan keperawatan yang selalu berupaya memenuhi harapan pasien sehingga pasien akan selalu puas akan pelayanan yang diberikan oleh seorang perawat. Pendekatan jaminan mutu layanan keperawatan mengutamakan keluaran (outcome) layanan keperawatan atau apa yang akan dihasilkan dan diakibatkan oleh layanan keperawatan. Hasil layanan keperawatan yang bermutu hanya mungkin dihasilkan oleh pekerjaan yang benar. Dengan demikian, pasien akan selalu berada dalam lingkungan organisasi layanan keperawatan yang terbaik karena segala kebutuhan kesehatan dan penyakit pasien itu sangat diperhatikan dan kemudian dilayani dengan layanan keperawatan yang terbaik mutunya. Tidak mengherankan bahwa organisasi layanan keperawatan yang selalu memperhatikan mutu akan dengan mudah mendapatkan akreditasi serta memperoleh kepercayaan dari organisasi lain sejenisnya.

A. Konsep Dasar

Dalam dunia keperawatan, mutu bukanlah hal yang baru lagi. Kita dapat berkaca dari perjuangan Florence Nightingale saat dia menggunakan standar untuk menilai layanan keperawatan yang diberikan kepada militer pada saat perang dunia II. Pekerjaan nightingale waktu itu berhubungan dengan perawatan luka, kebersihan lingkungan sekitar serta ventilasi yang digunakan. Hal ini merupakan salah satu contoh klasik terbaik bahwa hanya dengan cara-cara yang sangat sederhana dapat dihasilkan suatu manfaat yang luar biasa dan mempercepat kesembuhan pasien. Contoh itu merupakan salah satu contoh terbaik peningkatan mutu karena kunci keberhasilannya adalah selalu menganggap mutu sebagai suatu hal yang sangat sederhana, tetapi jika mutu ditingkatkan, hasil yang didapat menjadi luar biasa dan melebihi yang diperkirakan sebelumnya. Setiap upaya peningkatan mutu layanan keperawatan harus dilakukan secara berkesinambungan, tidak pernah berhenti. Hal ini berarti bahwa kita selalu berupaya memenuhi kebutuhan dan harapan pasien/masyarakat secara terus-menerus tanpa akhir.

Berbagai definisi mutu telah dijabarkan oleh para pakar manajemen. Definisi tersebut antara lain oleh Imbalo S Pohan (2006) yang menjabarkan mutu sebagai ”Keseluruhan karakteristik barang atau jasa yang menunjukkan kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan konsumen, baik berupa kebutuhan yang dinyatakan maupun kebutuhan yang tersirat”.

Mutu tidak lepas dari kata “kualitas” atau mutu itu sendiri. Kata kualitas mengandung banyak definisi dan makna seperti;

- Mutu adalah kualitas

- Bebas dari kerusakan atau cacat

- Kesesuaian; penggunaan (fitness of use), persyaratan atau tuntunan

- Melakukan segala sesuatu secara benar semenjak awal

- Pemenuhan kebutuhan pelanggan semenjak awal dan setiap saat

- Kepuasan klien; dalam arti pasien, keluarga pasien.

Layanan kesehatan yang bermutu sering dipersepsikan sebagai suatu layanan kesehatan yang dibutuhkan, dalam hal ini akan ditentukan oleh profesi layanan kesehatan dan sekaligus diinginkan baik oleh pasien/konsumen ataupun masyarakat serta terjangkau oleh daya beli masyarakat.

Layanan kesehatan sebagaimana juga mutu barang dan jasa bersifat multidimensi. Dimensi mutu layanan kesehatan menurut Brown LD et al. (1992) adalah :

@ Dimensi kompetensi teknis

Dimensi kompetensi teknis menyangkut keterampilan, kemampuan dan penampilan atau kinerja pemberi layanan kesehatan. Dimensi kompetensi teknis itu berhubungan dengan bagaimana pemberi layanan kesehatan mengikuti standar layanan kesehatan yang telah disepakati, yang meliputi kepatuhan, ketepatan, kebenaran dan konsistensi. Tidak dipenuhinya dimensi kompetensi teknis dapat mengakibatkan berbagai hal, mulai dari penyimpangan kecil terhadap standar layanan kesehatan, sampai pada kesalahan fatal yang dapat menurunkan mutu layanan kesehatan dan membahayakan jiwa pasien.

@ Dimensi keterjangkauan atau akses terhadap layanan kesehatan

Dimensi keterjangkauan atau akses, artinya layanan kesehatan itu harus dapat dicapai oleh masyarakat, tidak terhalang oleh keadaan geografis, sosial, ekonomi, organisasi dan bahasa. Akses geografi diukur dengan jarak, lama perjalanan, biaya perjalanan, jenis transportasi atau hambatan fisik lain yang dapat menghalangi seseorang untuk mendapat layanan kesehatan. Akses sosial atau budaya berhubungan dengan dapat diterima atau tidaknya layanan kesehatan itu secara sosial atau nilai budaya, kepercayaan dan perilaku. Akses organisasi ialah sejauh mana layanan itu diatur agar memberi kemudahan/kenyamanan kepada pasien atau konsumen. Akses bahasa, artinya pasien harus dilayani dengan menggunakan bahasa atau dialek yang dapat dipahami oleh pasien.

@ Dimensi efektivitas layanan kesehatan

Layanan kesehatan harus efektif, artinya harus mampu mengobati atau mengurangi keluhan yang ada, mencegah terjadinya penyakit serta berkembangnya dan atau meluasnya penyakit yang ada. Efektivitas layanan kesehatan ini bergantung pada bagaimana standar layanan kesehatan itu digunakan dengan tepat, konsisten, dan sesuai dengan situasi setempat. Umumnya standar layanan kesehatan diukur pada tingkat organisasi yang lebih tinggi, sementara pada tingkat pelaksana, standar layanan kesehatan itu harus dibahas agar dapat digunakan sesuai dengan kondisi setempat.

@ Dimensi efisiensi layanan kesehatan

Sumber daya kesehatan sangat terbatas, oleh sebab itu dimensi efisiensi sangat penting dalam layanan kesehatan. Layanan kesehatan yang efisien dapat melayani lebih banyak pasien dan atau masyarakat. Layanan kesehatan yang tidak memenuhi standar layanan kesehatan umumnya berbiaya mahal, kurang nyaman bagi pasien, memerlukan waktu lama dan menimbulkan resiko yang lebih besar kepada pasien. Dengan melakukan analisis efisiensi dan efektivitas kita dapat memilih intervensi yang paling efisien.

@ Dimensi kesinambungan layanan kesehatan

Dimensi kesinambungan layanan kesehatan artinya pasien harus dapat dilayani sesuai kebutuhannya, termasuk rujukan jika diperlukan tanpa mengulangi prosedur diagnosis dan terapi yang tidak perlu. Pasien harus selalu mempunyai akses ke layanan kesehatan yang dibutuhkannya. Karena riwayat penyakit pasien terdokumentasi dengan lengkap, akurat dan terkini, layanan kesehatan rujukan yang diperlukan pasien dapat terlaksana tepat waktu dan tepat tempat.

@ Dimensi keamanan

Dimensi keamanan maksudnya layanan kesehatan itu harus aman, baik bagi pasien, bagi pemberi layanan, maupun bagi masyarakat sekitarnya. Layanan kesehatan yang bermutu harus aman dari resiko cedera, infeksi, efek samping atau bahaya lain yang ditimbulkan oleh layanan kesehatan itu sendiri. Misalnya transfusi darah, jarum bekas maupun tindakan invasif lainnya. Dimensi keamanan menjadi dimensi mutu layanan kesehatan yang utama di bidang transfusi darah setelah munculnya HIV/AIDS. Pasien dan pemberi pelayanan harus terlindung dari infeksi yang mungkin terjadi. Oleh sebab itu harus disusun suatu prosedur yang akan menjamin kemanan kedua belah pihak.

@ Dimensi kenyamanan

Dimensi kenyamanan tidak berhubungan langsung dengan efektivitas layanan kesehatan, tetapi mempengaruhi kepuasan pasien/konsumen sehingga mendorong pasien untuk datang berobat kembali ke tempat tersebut. Kenyamanan atau kenikmatan dapat menimbulkan kepercayaan pasien kepada organisasi layanan kesehatan. Jika biaya layanan kesehatan menjadi persoalan, kenikmatan akan mempengaruhi pasien untuk membayar biaya layanan kesehatan. Kenyamanan juga terkait dengan penampilan fisik layanan kesehatan, pemberi pelayanan, peralatan medis dan non medis. Misalnya tersedianya AC, TV, majalah, musik, kebersihan dalam suatu ruang tunggu dapat menimbulkan perasaan kenikmatan tersendiri sehingga waktu tunggu tidak menjadi hal yang membosankan. Tersedianya gorden penyekat dalam kamar periksa akan memberikan kenyamanan terutama pada pasien wanita.

@ Dimensi informasi

Layanan kesehatan yang bermutu harus mampu memberikan informasi yang jelas tentang apa, siapa, kapan, dimana, dan bagaimana layanan kesehatan itu akan dan atau dilaksanakan. Dimensi informasi ini sangat penting pada tingkat puskesmas dan rumah sakit.

@ Dimensi ketepatan waktu

Agar berhasil, layanan kesehatan itu harus dilaksanakan dalam waktu dan cara yang tepat, oleh pemberi pelayanan yang tepat, dan menggunakan peralatan dan obat yang tepat, serta dengan biaya yang efisien (tepat)

@ Dimensi hubungan antar manusia

Hubungan antarmanusia merupakan interaksi antara pemberi layanan kesehatan (provider) dengan pasien atau konsumen, antarsesama pemberi layanan kesehatan, hubungan antara atasan-bawahan, dinas kesehatan, rumah sakit, puskesmas, pemerintah daerah, LSM, masyarakat, dan lain-lain. Hubungan antarmanusia yang baik akan menimbulkan kepercayaan atau kredibilitas dengan cara saling menghargai, menjaga rahasia, saling menghormati, responsif, memberi perhatian, dan lain-lain.