Tuesday, November 27, 2007

REPUBLIK SARANG NYAMUK

Indonesia merupakan negara dengan berbagai predikat dalam bidang kesehatan. Predikat pertama adalah negara penyumbang kasus TB Paru terbesar ketiga di dunia setelah India dan Cina. Predikat kedua adalah peringkat kedua dengan prestasi angka kejadian Demam Berdarah Dengue tertinggi di Asia setelah Thailand. Akankah republik ini mendapat predikat sebagai republik sarang nyamuk selain republik sarang koruptor?

Persoalan pemberantasan nyamuk merupakan masalah klasik seperti masalah pemberantasan korupsi yang tidak kunjung usai. Siapa sangka vampir mini ini berhasil membuat negara kita kelabakan khusunya menjelang musim hujan. Tahun lalu jumlah penderita DBD sempat mengakibatkan KLB (Kejadian Luar biasa) di negara kita. Tidak hanya kerugian material yang ditimbulkan tetapi juga fisik dan psikologis dengan jatuhnya puluhan bahkan ratusan korban jiwa. Setelah nyamuk Aedes Aegypti tersebut merenggut ratusan korban jiwa, kritik terhadap pemerintah waktu itu mulai dilancarkan. Hampir serupa dengan tahun-tahun sebelumnya, walaupun hingga kini belum terjadi KLB DBD secara nasional namun nyamuk tersebut telah merenggut beberapa korban jiwa. Hal ini sangat disayangkan, sebab dengan berkaca dari KLB tahun lalu seharusnya pemerintah telah membuat suatu konsep penanggulangan DBD yang rasional, efektif dan tepat sasaran. Banjir, tanah longsor, gempa bumi dan Tsunamai yang akhir-akhir ini melanda bangsa kita bisa saja dijadikan alasan bagi pemerintah untuk memproritaskan masalah yang perlu ditangani segera, tetapi DBD bukan merupakan wabah yang tiba-tiba muncul. DBD merupakan suatu siklus yang tiap tahunnya tidak pernah absen mengunjungi negara kita. Rakyat tentunya tidak meragukan lagi kecerdasan para pejabat yang duduk di jajaran Depkes pusat dan dinkes daerah.

Perang Terhadap Nyamuk

Penyakit akibat gigitan nyamuk cukup beragam, begitu pula nyamuk pembawa penyakit (vektor) juga banyak jenisnya. Selain DBD tercatat pula penyakit yang ditularkan oleh nyamuk dan menjadi momok bagi bangsa kita yaitu malaria. Bedanya kasus malaria ini lebih banyak dijumpai di provinsi-provinsi bagian timur Indonesia meskipun di wilayah Jawa juga ditemukan daerah endemik malaria. Kedua penyakit ini tidak hanya memberikan beban fisik dan psikis tetapi juga berdampak pada kehidupan ekonomi masyarakat kita. Orang yang terserang penyakit tersebut terpaksa harus terbaring lemah di rumah sakit sehingga pendapatan individu juga berkurang. Merosotnya produktivitas ini akan berdampak pada perekonomian Indonesia dalam jangka panjang. Menurut para ahli diperkirakan kerugian yang ditimbulkan malaria per individu sebesar US$ 56.5 juta setiap tahunnya.

Perang terhadap penyakit yang ditimbulkan oleh nyamuk tidak hanya sebatas fogging dan terapi terbaru yang diberikan. Tetapi pemberantasan penyakit tersebut hendaknya lebih ditekankan pada aspek promotif dan preventif. Sebab seperti yang kita ketahui bersama kesadaran perilaku hidup bersih dan sehat masyarakat kita masih rendah, seperti juga rendahnya kesadaran untuk membuang sampah ditempatnya atau kurangnya disiplin berlalu lintas. Melihat sikap masyarakat yang beresiko ini hendaknya pemerintah memberikan pendidikan kesehatan yang berkelanjutan. Mulai dari lingkungan keluarga, RT, RW sampai ke tingkat provinsi perlu dilakukan penyuluhan yang intensif. Selain itu semua sektor pembangunan juga perlu diberikan pendidikan kesehatan mengenai bahaya yang ditimbulkan oleh nyamuk. Dengan pendidikan diharapkan dapat mengubah perilaku masyarakat baik dari segi afektif, kognitif maupun psikomotornya.

Sistem kewaspadaan dini dan upaya penanggulangan epidemi agar tidak semakin menyebar perlu segera dibentuk. Hal ini dimulai dari identifikasi daerah-daerah potensial sumber penyakit. Daerah yang tahun lalu mengalami wabah atau KLB perlu segera diwaspadai untuk selanjutnya disusun program penanggulangan dan pemberantasan. Dengan prinsip kemitraan antara pemerintah, swasta dan masyarakat bukan mustahil jika prevalensi penyakit akibat gigitan nyamuk ini dapat ditekan.

Menjadi rakyat kecil identik dengan kemiskinan, dan kemiskinan inilah yang menyebabkan sulitnya akses terhadap bidang kesehatan. Ongkos obat dan rumah sakit yang membumbung tinggi menyebabkan orang miskin semakin sekarat. Komitmen pemerintah baik berupa komitmen politik maupun dukungan finansial sangat diharapkan oleh mereka yang tidak mampu. Disinilah dituntut sense of crisis pemerintah dalam melihat kondisi sosial ekonomi rakyatnya. Janganlah rakyat kecil diingat ketika pilpres atau pilkada berlangsung sebab mereka yang dibawah haus akan pemimpin yang jujur dan adil.

Akhirnya kembali lagi kepada kesadaran masyarakat untuk menciptakan perilaku hidup bersih dan sehat sebagai senjata ampuh untuk melawan berbagai penyakit. Sesuai dengan pepatah health is not everything but without health everything is nothing.