Monday, December 3, 2007

Tahap Respons Psikologis

Respons psikologis yang dialami seseorang karena kehilangan oleh Kubler-Ross (1969) dikemukakan dalam teori yang disebut “The Five Stages of Grief” (www.wikipedia.org). Teori ini membagi respons psikologis dalam lima tahap, yaitu penyangkalan (denial), marah (anger), tawar-menawar (bargaining), depresi (depression) dan penerimaan (acceptance). Kelima tahap respons psikologis ini sering diidentikkan dengan lima tahap model duka cita yang disebabkan oleh proses kematian. Namun akhirnya berkembang tidak hanya sebatas itu, lima tahap respons psikologis ini juga bisa digunakan untuk mengidentifikasi individu pasca pemutusan hubungan kerja, adanya bencana sehingga terpaksa harus mengungsi, kehilangan anggota tubuh, hukuman, kebangkrutan, korban kejahatan atau kriminal dan keputusasaan. Sehingga teori ini berkembang lebih luas dan dapat digunakan untuk memahami reaksi pasca kejadian traumatik yang dialami oleh seseorang.

1. Tahap Penyangkalan (Denial)

Reaksi pertama individu yang kehilangan adalah terkejut, tidak percaya, merasa terpukul dan menyangkal pernyataan bahwa kehilangan itu benar-benar terjadi (Suliswati, 2005). Secara sadar maupun tidak sadar seseorang yang berada pada tahap ini menolak semua fakta, informasi dan segala sesuatu yang berhubungan dengan hal yang dialaminya. Individu merasa hidupnya menjadi tidak berarti lagi. Pada saat itu dia dalam keadaan terguncang dan pengingkaran, merasa ingin mati saja. Pada tahap ini seseorang tidak mampu berpikir apa yang seharusnya dia lakukan untuk keluar dari masalahnya. Dia tidak siap untuk menerima kondisinya (Kozier, 2004). Oleh karenanya tahap pengingkaran merupakan suatu tahap yang sangat tidak nyaman dan situasi yang sangat menyakitkan (French, 1992)

Reaksi fisik yang terjadi pada tahap ini biasanya berupa keletihan, kelemahan, pucat, mual, diare, sesak napas, detak jantung cepat, menangis, gelisah. Reaksi ini dapat berlangsung selama beberapa menit sampai beberapa tahun (Suliswati, 2005)

2. Tahap Marah (Anger)

Kemarahan yang dialami oleh seseorang dapat diungkapkan dengan berbagai cara. Individu mungkin menyalahkan dirinya sendiri dan atau orang lain atas apa yang terjadi padanya, serta pada lingkungan tempat dia tinggal. Pada kondisi ini individu tidak memerlukan nasihat, baginya nasihat adalah sebuah bentuk pengadilan (judgement) yang sangat membuatnya menjadi lebih terganggu. Reaksi fisik yang sering terjadi pada tahap ini antara lain wajah merah, nadi cepat, gelisah, susah tidur dan tangan mengepal (Suliswati, 2005)

3. Tawar-Menawar (Bargaining)

Apabila individu telah mampu mengungkapkan rasa marahnya, maka ia maju ke tahap tawar-menawar (Suliswati, 2005). Pada tahap ini seseorang berpikir seandainya dia dapat menghindari kehilangan itu. Reaksi yang sering muncul adalah dengan mengungkapkan perasaan bersalah atau ketakutan pada dosa yang pernah dilakukan, baik itu nyata ataupun hanya imajinasinya saja (Kozier, 2004). Seringkali seseorang yang berada tahap ini berusaha tawar menawar dengan Tuhan agar merubah apa yang telah terjadi supaya tidak menimpanya. Sering juga dinyatakan dengan kata-kata “seandainya saya hati-hati”, “kenapa harus terjadi pada keluarga saya”. Sesungguhnya bargaining yang dilakukan seseorang tidak memberikan solusi apapun bagi permasalahan yang dia hadapi.

4. Tahap Depresi (Depression)

Individu pada tahap ini mengalami disorganisasi dalam batas tertentu dan merasa bahwa mereka tidak mampu melakukan tugas yang di masa lalu dilakukan dengan sedikit kesulitan (Niven, 2002). Individu sering menunjukkan sikap menarik diri, tidak mau berbicara, takut, perasaan tidak menentu dan putus asa. Seseorang yang berada pada tahap ini setidaknya sudah mulai menerima apa yang terjadi padanya adalah kenyataan yang memang harus dia hadapi (Chapman, 2006). Gejala fisik yang sering diperlihatkan adalah menolak makan, susah tidur, letih dan libido menurun (Suliswati, 2005).

5. Tahap Penerimaan (Acceptance)

Tahap ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan. Individu akan menyadari bahwa hidup mereka harus terus berlanjut dan mereka harus mencari makna baru dari keberadaan mereka. Pikiran yang selalu terpusat pada obyek atau orang yang hilang akan mulai berkurang atau menghilang. Individu telah menerima kenyataan kehilangan yang dialaminya, gambaran tentang obyek atau orang yang hilang mulai dilepaskan dan secara bertahap perhatian dialihkan kepada obyek yang baru (Suliswati, 2005). Seseorang yang berada pada tahap ini mulai menyusun rencana yang akan dilakukan pasca kehilangan (Kozier, 2004). Tahap penerimaan ini biasanya diungkapkan dengan kalimat “apa yang dapat saya lakukan agar saya cepat sembuh” atau “yaah, akhirnya saya harus dioperasi juga”.

Namun, tidak semua individu yang mengalami kehilangan selalu melalui tahap-tahap seperti yang telah dikemukakan oleh Kubler-Ross. Apabila individu dapat melalui tahap-tahap tersebut dan mencapai tahap penerimaan, maka ia akan dapat mengakhiri proses kedukaan dan mengatasi perasaan kehilangan secara tuntas. Apabila individu tetap berada pada salah satu tahap lebih awal dan tidak mencapai tahap penerimaan, jika ia mengalami kehilangan lagi, akan sulit baginya untuk mencapai tahap penerimaan.

Teori respons psikologis juga dikemukakan oleh Hundak & Gallo (1997) yang meliputi hal-hal sebagai berikut :

1. Tahap Terkejut atau Tidak Percaya

Pada tahap ini individu yang mengalami masalah atau kehilangan akan menunjukkan karakteristik perilaku menghindari atau menolak. Individu gagal memahami makna rasional dan dampak emosional dari diagnosa yang dialami.

2. Tahap Mengembangkan Kesadaran

Pada tahap ini perilaku individu dihubungkan dengan rasa marah dan bersalah. Marah diekspresikan dengan cara berlebihan dan tidak konstruktif sehingga kadang dikompensasikan pada pelayanan yang kurang seperti sikap perawat yang lamban atau kurang peka.

3. Tahap Resusitasi

Pada tahap ini orang berduka mengesampingkan marah dan pertahanan serta mulai mengatasi bentuk kehilangan yang dialami salah satunya adalah kesedihan dan mengungkapkannya dengan menangis.

4. Tahap Resolusi

Pada tahap ini individu mulai beradaptasi, kepedihan yang menyakitkan berkurang dan orang bergerak untuk menuju identifikasi sebagai seseorang yang mempunyai keterbatasan.

Model Konsep Adaptasi Roy

Model konsep adaptasi pertama kali dikemukakan oleh Suster Callista Roy (1969). Konsep ini dikembangkan dari konsep individu dan proses adaptasi seperti diuraikan di bawah ini. Asumsi dasar model adaptasi Roy adalah :

  1. Manusia adalah keseluruhan dari biopsikologi dan sosial yang terus-menerus berinteraksi dengan lingkungan.
  2. Manusia menggunakan mekanisme pertahanan untuk mengatasi perubahan-perubahan biopsikososial.
  3. Setiap orang memahami bagaimana individu mempunyai batas kemampuan untuk beradaptasi. Pada dasarnya manusia memberikan respon terhadap semua rangsangan baik positif maupun negatif.
  4. Kemampuan adaptasi manusia berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya, jika seseorang dapat menyesuaikan diri dengan perubahan maka ia mempunyai kemampuan untuk menghadapi rangsangan baik positif maupun negatif.
  5. Sehat dan sakit merupakan adalah suatu hal yang tidak dapat dihindari dari kehidupan manusia.

Empat elemen penting yang termasuk dalam Model Adaptasi Keperawatan adalah 1) manusia; 2) lingkungan; 3) sehat; 4) keperawatan. Unsur keperawatan terdiri dari dua bagian yaitu tujuan keperawatan dan aktivitas keperawatan. Juga termasuk dalam elemen penting pada konsep adaptasi.

1. Manusia

Roy mengemukakan bahwa manusia sebagai sebuah sistem adaptif. Sebagai sistem adaptif, manusia dapat digambarkan secara holistik sebagai satu kesatuan yang mempunyai input, kontrol, out put dan proses umpan balik. Proses kontrol adalah mekanisme koping yang dimanifestasikan dengan cara- cara adaptasi. Lebih spesifik manusia didefenisikan sebagai sebuah sistem adaptif dengan aktivitas kognator dan regulator untuk mempertahankan adaptasi dalam empat cara-cara adaptasi yaitu : fungsi fisiologis, konsep diri, fungsi peran dan interdependensi. Dalam model adaptasi keperawatan, manusia dijelaskan sebagai suatu sistem yang hidup, terbuka dan adaptif yang dapat mengalami kekuatan dan zat dengan perubahan lingkungan. Sebagai sistem adaptif manusia dapat digambarkan dalam istilah karakteristik sistem, jadi manusia dilihat sebagai satu-kesatuan yang saling berhubungan antara unit fungsional secara keseluruhan atau beberapa unit fungsional untuk beberapa tujuan. Input pada manusia sebagai suatu sistem adaptasi adalah dengan menerima masukan dari lingkungan luar dan lingkungan dalam diri individu itu sendiri. Input atau stimulus termasuk variabel standar yang berlawanan yang umpan baliknya dapat dibandingkan. Variabel standar ini adalah stimulus internal yang mempunyai tingkat adaptasi dan mewakili dari rentang stimulus manusia yang dapat ditoleransi dengan usaha-usaha yang biasa dilakukan. Proses kontrol manusia sebagai suatu sistem adaptasi adalah mekanisme koping. Dua mekanisme koping yang telah diidentifikasi yaitu : subsistem regulator dan subsistem kognator. Regulator dan kognator digambarkan sebagai aksi dalam hubungannya terhadap empat efektor atau cara-cara adaptasi yaitu : fungsi fisiologis, konsep diri, fungsi peran dan interdependen.

2. Lingkungan

Lingkungan digambarkan sebagai dunia di dalam dan di luar manusia. Lingkungan merupakan masukan (input) bagi manusia sebagai sistem yang adaptif sama halnya lingkungan sebagai stimulus internal dan eksternal. Lebih lanjut stimulus itu dikelompokkan menjadi tiga jenis stimulus yaitu : fokal, kontekstual dan residual.

1. Stimulus fokal yaitu rangsangan yang berhubungan langsung dengan perubahan lingkungan misalnya polusi udara dapat menyebabkan infeksi paru, kehilangan suhu pada bayi yang baru lahir.

2. Stimulus kontekstual yaitu : stimulus yang menunjang terjadinya sakit (faktor presipitasi) keadaan tidak sehat. Keadaan ini tidak terlihat langsung pada saat ini. Misalnya : daya tahan tubuh yang menurun, lingkungan yang tidak sehat.

3. Stimulus residual yaitu : sikap, keyakinan dan pemahaman individu yang dapat mempengaruhi terjadinya keadaan tidak sehat atau disebut dengan faktor presdiposisi sehingga terjadi kondisi fokal. Misalnya : persepsi klien tentang penyakit, gaya hidup dan fungsi peran.

Lebih luas lagi lingkungan didefinisikan sebagai segala kondisi, keadaan di sekitar yang mempengaruhi keadaan, perkembangan dan perilaku manusia sebagai individu atau kelompok.

3. Sehat

Menurut Roy, kesehatan didefinisikan sebagai keadaan dan proses menjadi manusia secara utuh dan terintegrasi secara keseluruhan. Integritas atau keutuhan manusia menyatakan secara tidak langsung bahwa kesehatan atau kondisi tidak terganggu mengacu kelengkapan atau kesatuan dan kemungkinan tertinggi dari pemenuhan potensi manusia. Jadi integrasi adalah sehat, sebaliknya kondisi yang tidak ada integrasi adalah kurang sehat. Definisi kesehatan ini lebih dari tidak adanya sakit tapi termasuk penekanan pada kondisi sehat sejahtera. Dalam model adaptasi keperawatan, konsep sehat dihubungkan dengan konsep adaptasi. Adaptasi yang bebas energi dari koping yang inefektif dan mengizinkan manusia berespons terhadap stimulus yang lain. Adaptasi adalah komponen pusat dalam model adaptasi keperawatan. Di dalamnya menggambarkan manusia sebagai sistem adaptif. Proses adaptasi termasuk semua interaksi manusia dan lingkungan terdiri dari dua proses. Bagian pertama dari proses ini dimulai dengan perubahan dalam lingkungan internal dan eksternal yang membutuhkan sebuah respons. Perubahan- perubahan itu adalah stresor atau stimulus fokal dan ditengahi oleh faktor- faktor kontekstual dan residual. Bagian kedua adalah mekanisme koping yang merangsang untuk menghasilkan respons adaptif atau inefektif. Produk adaptasi adalah hasil dari proses adaptasi dan digambarkan dalam istilah kondisi yang meningkatkan tujuan-tujuan manusia yang meliputi : kelangsungan hidup, pertumbuhan, reproduksi dan penguasaan yang disebut integritas. Kondisi akhir ini adalah kondisi keseimbangan dinamik equilibrium yang meliputi peningkatan dan penurunan respons. Setiap kondisi adaptasi baru dipengaruhi oleh tingkat adaptasi, sehingga dinamik equilibrium manusia berada pada tingkat yang lebih tinggi. Jarak yang besar dari stimulus dapat disepakati dengan suksesnya manusia sebagai sistem adaptif. Jadi peningkatan adaptasi mengarah pada tingkat-tingkat yang lebih tinggi pada keadaan sejahtera atau sehat.

Konsep Pengungsi

Definisi

United Nation High Commissioner for Refugees (UNHCR) memberikan definisi tentang pengungsi adalah setiap orang yang berada di luar negara warga negaranya atau jika ia tidak memiliki warga negara, negara dimana dia bertempat tinggal sebelumnya, karena ia memiliki atau pernah memiliki rasa takut akan persekusi karena alasan ras, agama, kewarganegaraan atau pendapat politik dan tidak dapat, atau karena suatu ketakutan, tidak bermaksud untuk mendapatkan dirinya perlindungan dari pemerintah negara kewarganegaraanya atau jika dia tidak memiliki kewarganegaraan, untuk kembali ke negara dimana dia pernah bertempat tinggal sebelumnya.

Pengertian pengungsi menurut Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) adalah orang yang dipaksa untuk keluar dari rumah atau wilayah yang merupakan tempat mereka tinggal, mencari nafkah, berkeluarga, dan lain-lain.

Sedangkan dalam Ensiklopedia Indonesia pengungsi adalah seseorang atau sekelompok orang yang meninggalkan suatu wilayah guna menghindari suatu bencana atau musibah. Bencana ini dapat berbentuk banjir, tanah longsor, tsunami, kebakaran, dan lain sebagainya yang diakibatkan oleh alam. Dapat pula bencana yang diakibatkan oleh ulah manusia secara langsung. Misalnya perang, kebocoran nuklir dan ledakan bom

Jenis Pengungsi

Berdasarkan Konvensi tahun 1951 di Jenewa, United Nation High Commissioner for Refugees (UNHCR) mengelompokkan pengungsi menjadi dua jenis yaitu pengungsi internal disebut Internal Displace Persons (IDPs) dan pengungsi lintas batas atau Refugee.

1) Pengungsi Internal atau Internally Displace Persons (IDPs)

Pengungsi Internal atau Internally Displace Persons (IDPs) adalah pengungsi yang keluar dari wilayah tertentu dan menempati wilayah lain tetapi masih dalam satu daerah kekuasaaan satu negara. Pengungsi internal biasanya merupakan penduduk migran terpaksa akibat konflik bersenjata atau akibat dari situasi-situasi rawan lainnya (seperti tindak kekerasan, bencana alam, bencana akibat ulah manusia) yang tidak melintasi perbatasan negaranya. Pengungsi internal juga dapat diartikan sebagai seseorang atau kelompok masyarakat yang berpindah dari satu wilayah ke wilayah lain sebagai akibat dari bencana alam dan atau bencana sosial yang menimbulkan kecemasan dan ketakutan yang dapat mengancam setiap jiwa individu dan kelompok. Berbagai pertikaian dan kekerasan, baik yang disebabkan oleh prasangka etnis (etnocentris), dan agama (religiosentris), maupun sebagai dampak kecemburuan penduduk lokal dengan pendatang yang berbasis ketimpangan dan perbedaan akses atas penguasaan sumber-sumber daya ekonomi, telah berakibat pada pengungsian besar-besaran warga masyarakat dari berbagai daerah.

2) Pengungsi Lintas Batas (Refugee)

Pengungsi lintas negara (refugee) adalah seseorang atau sekelompok orang yang oleh karena rasa takut yang wajar akan kemungkinan dianiaya berdasarkan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada suatu kelompok sosial tertentu atau pandangan politik, terpakasa keluar dari negara asalnya dan tidak bisa atau karena rasa takut itu, tidak berkehendak berada di dalam perlindungan negeri tersebut.

Tahap Status Pengungsi

Dalam status perjalanan statusnya, pengungsi mengalami beberapa tahap (Mardianto, 2002) yaitu :

1. Tahap sebelum pelarian (Pre-fligth) yaitu pengungsi ditampung di suatu tempat yang aman sebelum akhirnya dipindah ke tempat tujuan. Lamanya di tempat penampungan tergantung dari sarana yang ada untuk memindahkan pengungsi ke tempat tujuan.

2. Tahap pelarian dan keterpisahan (flight and separation). Pada tahap ini pengalaman pengungsi dalam perjalanan ke tempat tujuan. Kondisi ini sangat tergantung pada sarana transportasi yang didapatkan oleh pengungsi. Banyaknya pengungsi dapat menimbulkan masalah pendataan anggota keluarga pengungsi dan kemungkinan terpisah dengan anggota keluarga yang lain.

3. Tahap penampungan di tempat tujuan (Asylum). Pengungsi ditampung di tempat penampungan darurat yang fasilitasnya sangat terbatas, bisa juga tinggal di rumah-rumah penduduk. Lama tinggal di penampungan tergantung pada penyediaan tempat baru yang disediakan pemerintah setempat yang menjadi tujuan pengungsi.

4. Tahap penempatan di tempat tinggal yang baru (Resettlement). Pada tahap ini pengungsi menempati tempat tinggal tetap yang disediakan pemerintah.

Konsep Bencana (Disaster)

Definisi Bencana (Disaster)

Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia definisi bencana adalah peristiwa/kejadian pada suatu daerah yang mengakibatkan kerusakan ekologi, kerugian kehidupan manusia serta memburuknya kesehatan dan pelayanan kesehatan yang bermakna sehingga memerlukan bantuan luar biasa dari pihak luar.

Sedangkan definisi bencana (disaster) menurut WHO adalah setiap kejadian yang menyebabkan kerusakan, gangguan ekologis, hilangnya nyawa manusia atau memburuknya derajat kesehatan atau pelayanan kesehatan pada skala tertentu yang memerlukan respon dari luar masyarakat atau wilayah yang terkena.

Bencana adalah situasi dan kondisi yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Tergantung pada cakupannya, bencana ini bisa merubah pola kehidupan dari kondisi kehidupan masyarakat yang normal menjadi rusak, menghilangkan harta benda dan jiwa manusia, merusak struktur sosial masyarakat, serta menimbulkan lonjakan kebutuhan dasar (BAKORNAS PBP).

Jenis Bencana

Usep Solehudin (2005) mengelompokkan bencana menjadi 2 jenis yaitu:

1. Bencana alam (natural disaster) yaitu kejadian-kejadian alami seperti kejadian-kejadian alami seperti banjir, genangan, gempa bumi, gunung meletus, badai, kekeringan, wabah, serangga dan lainnya.

2. Bencana ulah manusia (man made disaster) yaitu kejadian-kejadian karena perbuatan manusia seperti tabrakan pesawat udara atau kendaraan, kebakaran, huru-hara, sabotase, ledakan, gangguan listrik, ganguan komunikasi, gangguan transportasi dan lainnya.

Sedangkan berdasarkan cakupan wilayah, bencana terdiri dari:

1. Bencana Lokal

Bencana ini biasanya memberikan dampak pada wilayah sekitarnya yang berdekatan. Bencana terjadi pada sebuah gedung atau bangunan-bangunan disekitarnya. Biasanya adalah karena akibat faktor manusia seperti kebakaran, ledakan, terorisme, kebocoran bahan kimia dan lainnya.

2. Bencana Regional

Jenis bencana ini memberikan dampak atau pengaruh pada area geografis yang cukup luas, dan biasanya disebabkan oleh faktor alam, seperti badai, banjir, letusan gunung, tornado dan lainnya.

Fase-fase Bencana

Menurut Barbara Santamaria (1995), ada 3 fase dalam terjadinya suatu bencana, yaitu fase preimpact, fase impact dan fase postimpact.

1. Fase preimpact merupakan warning phase, tahap awal dari bencana. Informasi didapat dari badan satelit dan meteorologi cuaca. Seharusnya pada fase inilah segala persiapan dilakukan baik oleh pemerintah, lembaga, dan warga masyarakat.

2. Fase impact merupakan fase terjadinya klimaks dari bencana. Inilah saat-saat dimana manusia sekuat tenaga mencoba untuk bertahan hidup (survive). Fase impact ini terus berlanjut hingga terjadi kerusakan dan bantuan-bantuan darurat dilakukan.

3. Fase postimpact adalah saat dimulainya perbaikan dan penyembuhan dari fase darurat, juga tahap dimana masyarakat mulai berusaha kembali pada fungsi komunitas normal. Secara umum dalam fase postimpact ini para korban akan mengalami tahap respon psikologis mulai penolakan, marah, tawar-menawar, depresi hingga penerimaan.

Tuesday, November 27, 2007

WASPADA KORUPTOR “SAKIT”

Komisi pemberantasan korupsi (KPK) mulai menabuh genderang perang terhadap para koruptor. Sejumlah pejabat tersangka kasus korupsi mulai diproses dan dimasukkan ke dalam tahanan, dimulai dengan Gubernur Nangro Aceh Darusalam, Abdulah Puteh, yang kini mendekam di rutan Salemba. Namun, dari sekian kasus korupsi yang ditangani, para koruptor mulai “sakit”. Apakah koruptor tersebut benar-benar sakit atau hanya akal bulus untuk lolos dari hotel prodeo?

Sungguh aneh bin ajaib, satu persatu para koruptor yang akan atau sedang mendekam di penjara mulai divonis “sakit” dengan surat keterangan dokter. Tentunya masih segar di ingatan kita kasus Soeharto, mantan penguasa era orde baru ini tidak bisa diadili karena alasan sakit permanen. Pasca jatuhnya rezim orba, tim dokter menyatakan bahwa Soeharto mengalami kerusakan otak permanen, sehingga samapai saat ini kasus beliau belum bisa diadili. Namun sangat kontras sekali jika kita melihat di media cetak ataupun elektronik beliau kelihatan segar bugar, baik pada pemilu legislatif maupun pemilu presiden beberapa waktu lalu.

Lalu penyakit menghinggapi pula mantan menteri yang beberapa kali menjabat, Ginandjar Kartasasmita, yang tiba-tiba sakit ketika perkaranya akan digelar. Fenomena janggal dan latah ini kemudian diikuti oleh koruptor-koruptor kelas kakap dan kelas teri. Dan ujung-ujungnya mereka harus dirawat di rumah sakit yang berkelas dan ber-AC sepadan dengan standard hotel berbintang. Tidak lagi ditemui senyum kecut para sipir penjara, tetapi senyum manis para perawat dan dokter yang selalu siap 24 jam untuk melayani kebutuhannya. Itu sebabnya para koruptor lebih suka berbaring di rumah sakit dengan pelayanan ekstra daripada tidur di hotel prodeo.

Demikian juga tersangka kasus penyalahgunaan dana BLBI senilai 10 triliun, Sjamsul Nursalim, yang harus dirujuk ke rumah sakit di luar negeri karena keterbatasan rumah sakit Indonesia. Bukan hanya mereka-mereka yang beruntung. Ada rentetan kasus korupsi yang dilakukan oleh pejabat daerah, pejabat tingkat nasional, maupun pengusaha. Banyak diantara mereka yang memang diadili, namun ditengah atau akhir persidangan mereka memperoleh surat sakti (surat keterangan sakit). Bagi orang miskin sakit membawa petaka, sebaliknya pada orang kaya dan korup sakit malah membawa berkah. Apa yang bisa dilakukan hukum ketika berhadapan dengan surat sakti tersebut? Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pasal 31 tersangka atau terdakwa yang sakit boleh meminta penundaan penahanan. Barisan pengacara top disertai surat keterangan sakit merupakan peluru terakhir yang membuat kejaksaan dan pengadilan tidak bisa berkutik.

Hal inilah yang perlu kita waspadai dalam mengawasi pemberantasan kasus korupsi. Surat keterangan sakit rawan sekali terhadap manipulasi, untuk itulah diperlukan tim dokter yang independen yang berasal dari kejaksaan atau pengadilan. Tim dokter inilah yang akan melakukan pemeriksaan lanjutan terhadap tersangka korupsi yang memberikan klaim bahwa dirinya “sakit”. Sebab sudah bukan rahasia lagi jika surat dokter tersebut sangat mudah didapatkan, tergantung bargaining power serta uang yang ada. Dengan adanya tim dokter yang independen diharapkan tercipta keadilan yang sebenar-benarnya, bagi tersangka yang betul-betul sakit akan mendapatkan perawatan yang layak dan juga sebaliknya.

WASPADA KLB DBD

Demam berdarah sempat mencuat setelah tahun 2004 lalu penyakit ini dinyatakan sebagai KLB (kejadian Luar Biasa) di negara kita. Memasuki tahun 2005 ini jumlah kasus demam berdarah mulai melonjak di beberapa daerah. Penderitaan korban serta kerugian yang ditimbulkan sudah menjadi menu sehari-hari yang terpampang di berbagai media cetak maupun elektronik. Akankah tahun 2005 ini KLB DBD (Demam Berdarah Dengue) terjadi secara nasional lagi?

UU No. 4 tahun 1984 tentang wabah penyakit menular menyebutkan bahwa wabah adalah kejadian berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat, yang jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi dari keadaan yang lazim pada waktu dan daerah tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka. Dalam rangka mengantisipasi wabah secara dini, dikembangkan istilah kejadian luar biasa (KLB) sebagai pemantauan awal terhadap kejadian wabah. Sedangkan definisi KLB itu sendiri adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan atau kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu.

Penyakit Demam Berdarah Dengue telah dikenal di RSUD Soetomo sejak tahun 1968. Penyakit yang disebabkan oleh Aedes Aegypti dan Aedes Albopictus ini telah merenggut ratusan bahkan ribuan korban jiwa hingga saat ini. Tak mengherankan jika angka kejadian penyakit Demam Berdarah Dengue di Indonesia menduduki peringkat dua di Asia setelah Thailand. Berbagai penelitian untuk melawan keganasan virus ini sedang dikembangkan mengingat efek yang ditimbulkan sangatlah besar, mulai dari penelitian mutakhir mengenai jenis virus, terapi yang diberikan sampai dengan pengembangan vaksin ampuh untuk melawan keganasan virus.

Nampaknya KLB DBD yang terjadi pada tahun 2004 lalu tidak membuat pemerintah jera, hal ini dapat dicermati dari belum adanya upaya penanggulangan secara sistematik, terkonsep dan terencana. Para ahli meramalkan bahwa KLB DBD tahun lalu merupakan siklus lima tahunan sehingga hal inilah yang mungkin menjadi pertimbangan pemerintah untuk tidak tergesa-gesa melakukan upaya preventif dan promotif. Kritik pedas terhadap pemerintah mulai mengalir mengingat pada tahun ini jumlah kasus DBD mulai melonjak.

Nyamuk yang merupakan pembawa virus tersebut memiliki empat stadium dalam siklus hidupnya yaitu stadium telur, larva, pupa dan dewasa. Sangat disayangkan jika ternyata KLB DBD terjadi secara nasional sebab dengan melihat siklus hidup dari nyamuk tersebut dapat diupayakan tindakan pencegahan dan promosi. Yang paling utama dalam pemberantasan DBD adalah melenyapkan telur, larva dan pupa yang terdapat dalam air tergenang. Program pemberantasan sarang nyamuk dengan mengandalkan 3M (mengubur, menguras dan menutup) yang digembar-gemborkan saat ini terbukti belum optimal menghadang penyebaran “vampir mini” tersebut. Apakah ada yang salah dengan program tersebut? Menurut pendapat para ahli pemberantasan sarang nyamuk dengan 3M terbukti lebih efektif daripada dilakukan fogging atau pengasapan. Sebab secara logika pengasapan hanya mampu membunuh nyamuk dewasa sehingga nyamuk dewasa yang mati akan digantikan oleh nyamuk yang baru.

Pada kasus diatas yang patut dicermati adalah keterlambatan upaya 3M yang sedang disosialisasikan. Pemerintah dengan gencar memberikan penerangan pada masyarakat setelah terbesit kabar salah satu warganya terkena DBD. Padahal upaya tersebut akan memberikan hasil yang kurang optimal mengingat kedisiplinan bangsa Indonesia yang masih rendah. Hendaknya pemerintah memberikan promosi yang berkesinambungan berupa pendidikan kesehatan mengenai DBD yang dilakukan tidak hanya ketika DBD menyerang. Mengingat populasi nyamuk pembawa (vektor) yang meningkat ketika memasuki musim hujan maka diharapkan pemberian pendidikan kesehatan untuk mengubah perilaku masyarakat diberikan secara berkelanjutan baik pada saat musim hujan ataupun musim kemarau. Hanya dengan pendidikan berkesinambungan dan didukung oleh seluruh komponen masyarakat diharapkan terwujud perilaku hidup bersih dan sehat masyarakat Indonesia.

Pemberantasan DBD secara nasional dapat melibatkan siswa sekolah agar waspada dan mampu mengenali jentik-jentik nyamuk di lingkungan sekitarnya. Pengenalan DBD secara dini akan membawa hasil dalam jangka panjang. Selain itu perlu disadari bahwa DBD bukan hanya masalah Departemen Kesehatan saja tetapi juga merupakan masalah semua sektor pembangunan di negara kita. Disinilah dituntut komitmen pemerintah sebagai pelaksana serta dukungan politis dan finansial untuk membendung keganasan virus dengue. Dengan peningkatan kewaspadaan dini terhadap penyebaran dan kejadian luar biasa diharapkan kasus DBD di Indonesia dapat diminimalisir. Serta tidak lupa sosialisasi paradigma “mencegah lebih baik daripada mengobati” perlu ditanamkan dalam propaganda perang terhadap demam berdarah.

REPUBLIK SARANG NYAMUK

Indonesia merupakan negara dengan berbagai predikat dalam bidang kesehatan. Predikat pertama adalah negara penyumbang kasus TB Paru terbesar ketiga di dunia setelah India dan Cina. Predikat kedua adalah peringkat kedua dengan prestasi angka kejadian Demam Berdarah Dengue tertinggi di Asia setelah Thailand. Akankah republik ini mendapat predikat sebagai republik sarang nyamuk selain republik sarang koruptor?

Persoalan pemberantasan nyamuk merupakan masalah klasik seperti masalah pemberantasan korupsi yang tidak kunjung usai. Siapa sangka vampir mini ini berhasil membuat negara kita kelabakan khusunya menjelang musim hujan. Tahun lalu jumlah penderita DBD sempat mengakibatkan KLB (Kejadian Luar biasa) di negara kita. Tidak hanya kerugian material yang ditimbulkan tetapi juga fisik dan psikologis dengan jatuhnya puluhan bahkan ratusan korban jiwa. Setelah nyamuk Aedes Aegypti tersebut merenggut ratusan korban jiwa, kritik terhadap pemerintah waktu itu mulai dilancarkan. Hampir serupa dengan tahun-tahun sebelumnya, walaupun hingga kini belum terjadi KLB DBD secara nasional namun nyamuk tersebut telah merenggut beberapa korban jiwa. Hal ini sangat disayangkan, sebab dengan berkaca dari KLB tahun lalu seharusnya pemerintah telah membuat suatu konsep penanggulangan DBD yang rasional, efektif dan tepat sasaran. Banjir, tanah longsor, gempa bumi dan Tsunamai yang akhir-akhir ini melanda bangsa kita bisa saja dijadikan alasan bagi pemerintah untuk memproritaskan masalah yang perlu ditangani segera, tetapi DBD bukan merupakan wabah yang tiba-tiba muncul. DBD merupakan suatu siklus yang tiap tahunnya tidak pernah absen mengunjungi negara kita. Rakyat tentunya tidak meragukan lagi kecerdasan para pejabat yang duduk di jajaran Depkes pusat dan dinkes daerah.

Perang Terhadap Nyamuk

Penyakit akibat gigitan nyamuk cukup beragam, begitu pula nyamuk pembawa penyakit (vektor) juga banyak jenisnya. Selain DBD tercatat pula penyakit yang ditularkan oleh nyamuk dan menjadi momok bagi bangsa kita yaitu malaria. Bedanya kasus malaria ini lebih banyak dijumpai di provinsi-provinsi bagian timur Indonesia meskipun di wilayah Jawa juga ditemukan daerah endemik malaria. Kedua penyakit ini tidak hanya memberikan beban fisik dan psikis tetapi juga berdampak pada kehidupan ekonomi masyarakat kita. Orang yang terserang penyakit tersebut terpaksa harus terbaring lemah di rumah sakit sehingga pendapatan individu juga berkurang. Merosotnya produktivitas ini akan berdampak pada perekonomian Indonesia dalam jangka panjang. Menurut para ahli diperkirakan kerugian yang ditimbulkan malaria per individu sebesar US$ 56.5 juta setiap tahunnya.

Perang terhadap penyakit yang ditimbulkan oleh nyamuk tidak hanya sebatas fogging dan terapi terbaru yang diberikan. Tetapi pemberantasan penyakit tersebut hendaknya lebih ditekankan pada aspek promotif dan preventif. Sebab seperti yang kita ketahui bersama kesadaran perilaku hidup bersih dan sehat masyarakat kita masih rendah, seperti juga rendahnya kesadaran untuk membuang sampah ditempatnya atau kurangnya disiplin berlalu lintas. Melihat sikap masyarakat yang beresiko ini hendaknya pemerintah memberikan pendidikan kesehatan yang berkelanjutan. Mulai dari lingkungan keluarga, RT, RW sampai ke tingkat provinsi perlu dilakukan penyuluhan yang intensif. Selain itu semua sektor pembangunan juga perlu diberikan pendidikan kesehatan mengenai bahaya yang ditimbulkan oleh nyamuk. Dengan pendidikan diharapkan dapat mengubah perilaku masyarakat baik dari segi afektif, kognitif maupun psikomotornya.

Sistem kewaspadaan dini dan upaya penanggulangan epidemi agar tidak semakin menyebar perlu segera dibentuk. Hal ini dimulai dari identifikasi daerah-daerah potensial sumber penyakit. Daerah yang tahun lalu mengalami wabah atau KLB perlu segera diwaspadai untuk selanjutnya disusun program penanggulangan dan pemberantasan. Dengan prinsip kemitraan antara pemerintah, swasta dan masyarakat bukan mustahil jika prevalensi penyakit akibat gigitan nyamuk ini dapat ditekan.

Menjadi rakyat kecil identik dengan kemiskinan, dan kemiskinan inilah yang menyebabkan sulitnya akses terhadap bidang kesehatan. Ongkos obat dan rumah sakit yang membumbung tinggi menyebabkan orang miskin semakin sekarat. Komitmen pemerintah baik berupa komitmen politik maupun dukungan finansial sangat diharapkan oleh mereka yang tidak mampu. Disinilah dituntut sense of crisis pemerintah dalam melihat kondisi sosial ekonomi rakyatnya. Janganlah rakyat kecil diingat ketika pilpres atau pilkada berlangsung sebab mereka yang dibawah haus akan pemimpin yang jujur dan adil.

Akhirnya kembali lagi kepada kesadaran masyarakat untuk menciptakan perilaku hidup bersih dan sehat sebagai senjata ampuh untuk melawan berbagai penyakit. Sesuai dengan pepatah health is not everything but without health everything is nothing.

Prospek Kerja Perawat Di Luar Negeri

Inggris butuh 10.000, Jepang butuh 20.000, negara-negara Timur Tengah juga butuh ribuan, bahkan Amerika bisa mencapai angka ratusan ribu. Total dunia membutuhkan 2 juta per tahun untuk kebutuhan yang satu ini. Wah, butuh apa nih? Ternyata, butuh tenaga perawat! (Pikiran Rakyat, 2006).

Beberapa tahun terakhir ini, pengiriman tenaga kesehatan Indonesia ke luar negeri, khususnya perawat, menjadi perbincangan yang cukup hangat di berbagai kalangan. Di tengah semakin meningkatnya jumlah pengangguran terdidik dari tahun ke tahun, tentu merupakan hal yang melegakan bahwa perawat dari Indonesia dilaporkan berpeluang bekerja di Amerika Serikat (AS) dan negara-negara di Benua Eropa (Inggris, Belanda, Norwegia), Timur Tengah (Saudi Arabia, Uni Emirat Arab, Kuwait) dan kawasan Asia Tenggara (Singapura, Malaysia). Jumlah permintaan berkisar antara 30 orang sampai dengan tidak terbatas (BPPSDMK, 2007).

Kekurangan perawat di dalam negeri merupakan alasan utama negara-negara tersebut untuk menerima tenaga dari luar negeri. Di AS, misalnya, pada 2005 mengalami kekurangan 150.000 perawat, pada 2010 jumlah tersebut menjadi 275.000, pada 2015 sejumlah 507.000, dan pada 2020 menjadi 808.000 perawat. Namun demikian, kekurangan tersebut tersebut menyebabkan mereka lebih berfokus pada bagaimana menghasilkan perawat yang lebih banyak, bukan untuk mencetak perawat yang berpendidikan lebih baik (Bartels JE, 2005).

Di Indonesia, Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan (PPSDM Kesehatan) melaporkan bahwa jumlah terbesar Tenaga Kesehatan Profesional Indonesia (TKPI) yang telah bekerja di luar negeri mulai 1989 sampai dengan 2003 adalah perawat (97.48% dari total sebanyak 2494 orang). Meskipun jumlah perawat yang bekerja di luar negeri menempati prosentase terbesar dibandingkan tenaga kesehatan yang lain, masih terdapat beberapa poin penting yang perlu menjadi perhatian dan ditanggulangi mulai dari saat ini.

Dari beberapa laporan diketahui bahwa kendala utama yang dihadapi oleh para perawat Indonesia adalah kemampuan berbahasa Inggris dan ketrampilan yang masih kurang. Berkenaan dengan ketrampilan perawat Indonesia yang masih kurang, terlihat dari segi skoring NLEX (National License Examination) yang masih rendah. Ujian NLEX sendiri merupakan prasyarat perawat Indonesia untuk dapat bekerja di luar negeri. Sebagai gambaran, skor yang diperoleh perawat Indonesia adalah angka 40. Padahal skoring yang dibutuhkan untuk bekerja di Eropa antara 50 sampai 70 dan di AS antara 70 sampai 80 (Pusdiknakes, 2007).

Dua hal tersebut tampaknya perlu untuk segera ditanggulangi selain faktor-faktor lain yang belum teridentifikasi dalam tulisan ini. Beranjak dari hal inilah sebenarnya lembaga pendidikan keperawatan di Indonesia dapat mulai ikut berperan aktif dalam merumuskan strategi yang tepat dalam mendidik calon perawat. Laporan tentang pengalaman perawat yang berkerja di luar negeri perlu disampaikan dalam tulisan ini agar kita dapat memperoleh gambaran yang lebih menyeluruh. Sampai saat ini penulis belum menemukan laporan penelitian yang terkait dengan pengalaman perawat Indonesia yang bekerja di luar negeri. Di lain pihak, kebanyakan laporan penelitian di negara lain terkait topik tersebut menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Dilaporkan bahwa alasan yang mendorong seorang perawat untuk bekerja di luar negeri antara lain gaji yang lebih tinggi, prospek karir dan pendidikan yang lebih menjanjikan (Buchan, J. & Calman, L, 2007).

Pada review penelitian oleh Magnusdottir (2005), penelitian Yi & Jezewski (2000) tentang penyesuaian diri 12 Perawat Korea yang bekerja di rumah sakit di AS melaporkan bahwa pada 2-3 tahun pertama mereka bekerja ditandai dengan usaha mengurangi stress psikologis, mengatasi kendala bahasa, dan menyesuaikan diri dengan praktek keperawatan di USA. Kemudian pada 5 - 10 tahun kemudian ditandai dengan belajar mengadopsi strategi penyelesaian masalah menurut budaya AS dan memelihara hubungan interpersonal. Mereka yang berhasil dalam proses tersebut dilaporkan merasa puas. Kendala-kendala di atas merupakan tantangan bagi perawat Indonesia untuk menunjukkan kemampuannya dalam upaya memenangkan persaingan di tingkat global.

Sumber : Nursalam, 2007

PEMBERDAYAAN KADER MASYARAKAT SECARA ACTIVE CASE FINDING SEBAGAI UPAYA PENANGGULANGAN OUTBREAK TB PARU

TB Paru dilaporkan kembali outbreak di daerah Malang,Jatim, , bahkan tidak tanggung-tanggung angka kejadian TB Paru mencapai 100% (Kompas, 22/2). Tentunya hal ini bisa menjadi iklan buruk bagi kinerja pemerintah sekarang khususnya Departemen Kesehatan dan dinkes setempat. Walaupun permasalahan TB Paru itu sendiri tidak menjadi tanggung jawab sector kesehatan semata tetapi hal ini bisa dijadikan cambuk dan evaluasi bagi kinerja bidang kesehatan dalam rangka mensukseskan program pemberantasan TB Paru di Indonesia.

TB Paru tidak hanya menjadi masalah di negara kita tetapi penyakit yang menyerang organ pernafasan ini telah dinyatakan sebagai bahaya global. WHO sendiri memberikan predikat kepada bangsa kita sebagai penyumbang kasus TB Paru terbesar ketiga setelah India dan Cina. Berbagai riset dan pengembangan terapi mutakhir tentang TB Paru sedang dikembangkan tetapi seakan-akan hal tersebut tidak mampu membendung penyebaran bakteri tahan asam tersebut.

Sampai saat ini pemerintah mengadopsi sistem DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) sebagai rekomendasi standar WHO bagi pemberantasan penyakit TB Paru. Metode DOTS menetapkan bahwa pengobatan TB Paru diberikan selama enam bulan dan diharapkan pada dua bulan pertama pengobatan terjadi konversi dari BTA (Basil Tahan Asam) positif menjadi BTA negatif. Para ahli berpendapat bahwa angka kesembuhan (cure rate) dan angka konversi dengan metode DOTS cukup tinggi tetapi di satu sisi prevalensi (angka kejadian) TB Paru juga meningkat. Laporan Dinkes Propinsi Jatim tahun 2000 menunjukkan angka penemuan penderita baru sebesar 4,4% (target 10%), sedangkan angka konversi penderita baru sebesar 36,5% (target 80%). Angka kejadian TB Paru yang tinggi disebabkan kuman TB disebarkan melalui udara. Droplet yang mengandung kuman TB siap menginfeksi orang yang sehat dengan masa inkubasi relatif singkat. Prevalensi TB Paru yang tinggi salah satunya disebabkan kurang optimalnya metode DOTS yang lebih menekankan pada metode pasif (passive case finding). Pasif yang dimaksudkan disini adalah penjaringan tersangka penderita TB Paru dilakukan pada penderita yang berkunjung ke unit pelayanan kesehatan atau Puskesmas setempat. Metode ini memiliki beberapa kelemahan diantaranya hanya dapat menjaring penderita yang datang ke puskesmas saja. Selain itu penderita yang datang biasanya sudah dalam keadaan kronis atau parah, hal ini sangat berhubungan dengan sosiokultur masyarakat kita yang lebih menekankan upaya kuratif daripada preventif. Dampak buruk dari penderita yang tidak tercakup, baik untuk pemeriksaan maupun pengobatan menjadi sumber penularan yang potensial.

Mengingat keterbatasan metode DOTS secara pasif maka perlu dipertimbangkan penggunaan metode DOTS secara aktif (active case finding) oleh kader masyarakat. Metode active case finding adalah cara menjaring penderita TB Paru yang tidak berkunjung ke Puskesmas yang dilakukan oleh kader masyarakat. Pemberdayaan kader masyarakat dalam bidang kesehatan bukanlah hal baru, namun konsep active case finding yang melibatkan peran aktif kader masyarakat khususnya dalam penanggulangan TB Paru hingga kini belum diaplikasikan di seluruh wilayah Indonesia dan dikenal secara luas. Kader masyarakat yang sebelumnya memperoleh pendidikan kesehatan mengenai TB Paru diharapkan melakukan pengawasan (surveillance) aktif di lingkungan RT-nya untuk mencari serta menemukan penderita suspect TB Paru. Selanjutnya kader tersebut memotivasi penderita dan keluarga untuk segera berobat ke Puskesmas terdekat. Dengan cara ini diharapkan penderita TB Paru yang tidak berobat dapat diperiksa dan diobati semenjak dini sehingga dapat mencegah angka penularan dan lebih jauh lagi dapat menurunkan prevalensi serta mencegah outbreak TB Paru.

Kader masyarakat tersebut juga bisa melakukan supervisi terhadap pengawas menelan obat (PMO) yang berasal dari keluarga. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa metode DOTS mewajibkan adanya pengawas menelan obat untuk menjamin keteraturan penderita meminum obat. PMO yang disarankan berasal dari keluarga penderita itu sendiri dengan asumsi mereka lebih dekat dan mengamati secara langsung keteraturan minum obat. Kader masyarakat yang melakukan supervisi terhadap PMO diharapkan mampu mencegah drop out pengobatan. Untuk menjamin keberlangsungan program tersebut diharapkan adanya reward yang diberikan kepada kader masyarakat. Reward yang diberikan dapat berupa pengobatan cuma-cuma bagi keluarga kader yang sakit ataupun hasil kesepakatan antara puskesmas, pemerintah daerah, kader serta dinkes setempat.

Permasalahan TB Paru bukan hanya menjadi tanggung jawab sektor kesehatan saja tetapi memerlukan komitmen semua sektor baik pendidikan, agama dan segenap elemen masyarakat. Dukungan politis serta dukungan finansial diperlukan mengingat TB Paru sebagian besar menyerang kelompok masyarakat menengah ke bawah. Keterbatasan akses masyarakat miskin terhadap pelayanan kesehatan akan semakin mempercepat penyebaran TB Paru, disinilah peranan pemerintah diperlukan dalam upaya menciptakan kebijakan pro rakyat miskin.

Pelaksanaan DOTS secara aktif oleh kader masyarakat dan didukung oleh kerjasama holistik antar seluruh komponen masyarakat diharapkan dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas TB Paru sehingga diharapkan outbreak TB Paru dapat dicegah.

KOPING ADAPTASI MENARCHE SEBAGAI STRATEGI PENINGKATAN KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA

Menarche merupakan menstruasi pertama yang biasa terjadi dalam rentang usia 10 – 16 tahun atau pada masa awal remaja. Menarche merupakan suatu tanda awal adanya perubahan lain seperti pertumbuhan payudara, pertumbuhan rambut daerah pubis dan aksila, serta distribusi lemak pada daerah pinggul.

Selama ini sebagian masyarakat merasa tabu untuk membicarakan tentang masalah menstruasi dalam keluarga, sehingga remaja awal kurang memiliki pengetahuan dan sikap yang cukup baik tentang perubahan – perubahan fisik dan psikologis terkait menarche. Kesiapan mental sangat diperlukan sebelum menarche karena perasaan cemas dan takut akan muncul, selain itu juga kurangnya pengetahuan tentang perawatan diri yang diperlukan saat menstruasi.

Masalah fisik yang mungkin timbul dari kurangnya pengetahuan itu adalah kurangnya personal hygiene sehingga dapat beresiko untuk terjadinya infeksi pada saluran Kemih (ISK). Pada tahun 1999, insiden ISK di Inggris Utara pada usia 16 tahun adalah sekitar 3,6 % pada ana laki – laki dan 11,6 % pada anak wanita. Juga dapat dikatakan kejadian ISK pada wanita sekitar 3 -4 kali dibandingkan pada laki – laki. Diduga salah satu faktor penyebabnya adalah karena uretra wanita ebih pendek daripada laki – laki. Selain itu ksulitan yang lain yang timbul adalah dalam proses perawatan diri yaitu pemenuhan personal diri saat menarche., Hal ini dapat timbul karena sikap tertutup masyarakat dan lingkungan terhadap hal seperti itu (IDAI Cab Jatim 2003). Sekitar 50 % dari anak perempuan yang sebelumnya pernah mengalami ISK akan mengalami kelainan struktur saluran kemih. ISK juga akan mengganggu sirkulasi dengan terbentuknya jaringan parut yang merupakan faktor predisposisi terjadinya gagal ginjal kronik dan hipertensi.

Pendidikan tentang kesehatan reproduksi merupakan masalah penting yang perlu mendapatkan perhatian dari semua pihak. Pada masa remaja, pertumbuhan fisik dan seksualnya mulai berkembang dengan pesat. Remaja yang kelak akan menikah dan menjadi orang tua sebaiknya mempunyai kesehatan reproduksi yang prima, sehingga menghasilkan generasi yang sehat (Manuaba, 1998). Di lingkungan masyarakat, tokoh masyarakat baik orang tua atapun remaja itu sendiri harus lebih terbuka tentang masalah kesehatan teutama kesehatan reproduksi

Monday, November 26, 2007

Konsep Dasar Metode Kanguru

Pengertian Metode Kanguru

Kangaroo mother care (KMC), defined as skin-to-skin contact between a mother and her newborn, frequent and exclusive or nearly exclusive breastfeeding, and early discharge from hospital, has been proposed as an alternative to conventional neonatal care for low birthweight (LBW) infants (Conde-Agudello et all, 2000).

Manfaat Metode Kanguru

Secara klinis, dengan cara ini detak jantung bayi stabil dan pernapasannya lebih teratur, sehingga penyebaran oksigen ke seluruh tubuhnya pun lebih baik. Selain itu, cara ini mencegah bayi kedinginan. Bayi dapat tidur dengan nyenyak dan lama, lebih tenang, lebih jarang menangis, dan kenaikan berat badannya menjadi lebih cepat. Pertumbuhan dan perkembangan motorik pun menjadi lebih baik. Cara ini juga mempermudah pemberian ASI, mempererat ikatan batin antara ibu dan anak, serta mempersingkat masa perawatan secara keseluruhan. Bagi orang tua, hal ini turut menumbuhkan rasa percaya diri dan kepuasan bekerja. Perawatan bayi lekat atau metode kanguru ini sederhana, praktis, efektif, dan ekonomis, sehingga bisa dilakukan oleh setiap ibu atau pengganti ibu di rumah ataupun di Puskesmas, terutama dalam mencegah kematian BBLR (Luize, 2003).

Mekanisme Kerja Perawatan Metode Kanguru

Pada dasarnya mekanisme kerja Perawatan Metode Kanguru adalah sama seperti perawatan canggih dalam inkubator yang berfungsi sebagai termoregulator memberikan lingkungan yang termonetral bagi setiap neonatus melalui aliran panas konduksi dan radiasi. Lingkungan termoral adalah lingkungan suhu agar bayi dapat mempertahankan optimal (36,5-37,5 0C) dengan mengeluarkan energi/kalori yang minimal, terutama bagi BBLR yang persediaan atau sumber kalorinya sangat terbatas. Pengaliran panas melalui konduksi adalah identik kontak kulit ibu-bayi seperti dalam inkubator konduksi panas dari badan inkubator ke kulit bayi. Pengaliran panas melalui radiasi adalah udara hangat di dalam inkubator seperti udara hangat dalam/antara selimut/baju kanguru dan bayi. Proses hantaran panas tersebut berlangsung terus-menerus selama dibutuhkan oleh BBLR baik dalam inkubator maupun dalam Perawatan Metode Kanguru, oleh karena itu Perawatan Metode Kanguru hanya dikerjakan selama dibutuhkan oleh neonatus sampai bayi bisa mandiri tanpa harus dirawat dalam inkubator, yaitu sekitar BB mencapai 2500 gram. Sehingga Perawatan Metode Kanguru harus terus menerus dilakukan bergantian oleh bapak, ibu, tante dan neneknya (Usman,2001).

Metode dan Waktu Pelaksanaan

Tahapan penggunaan Metode Kanguru menurut Perinasia meliputi :

1. Persiapan ibu.

a. Membersihkan daerah dada dan perut dengan cara mandi dengan sabun 2-3 kali sehari.

b. Membesihkan kuku dan tangan

c. Baju yang dipakai harus bersih dan hangat sebelum dipakai

d. Selama pelaksanaan Metode Kanguru ibu tidak memakai BH

e. Bagian bawah baju diikat dengan pengikat baju atau kain

f. Memakai kain baju yang dapat direnggang

2. Persiapan bayi

a. Bayi jangan dimandikan, tetapi cukup dibersihkan dengan kain bersih dan hangat

b. Bayi perlu memakai tutup kepala atau topi dan popok selama penggunaan metode ini.

c. Posisi bayi vertikal ditengah payudara atau sedikit ke samping kanan/kiri sesuai dengan kenyamanan bayi serta ibu. Usahakan kulit bayi kontak langsung dengan kulit ibunya terus menerus.

d. Saat ibu duduk atau tidur posisi bayi tetap tegak mendekap ibu

e. Setelah bayi dimasukkan ke dalam baju, ikat kain selendang di sekeliling atau mengelilingi ibu dan bayi.

Prinsip metode ini adalah menggantikan perawatan bayi baru lahir dalam inkubator dengan meniru kanguru. Ibu bertindak seperti ibu kanguru yang mendekap bayinya dengan tujuan mempertahankan suhu bayi stabil dan optimal (36,50C - 37,50C). Suhu optimal ini diperoleh dengan kontak langsung kulit bayi dengan secara terus-menerus. Bayi yang dapat bertahan dengan cara ini adalah yang keadaan umumnya baik, suhu tubuhnya stabil (36,50C - 37,50C), dan mampu menetek. Metode ini dihentikan jika bayi telah mencapai bobot badan minimal 2500 g dan suhu tubuh optimal 370C, dan bayi bisa menetek kuat.

Pelaksanaan Metode Kanguru dapat dilakukan pada waktu:

a. Segera setelah lahir

b. Sangat awal, setelah 10-15 menit

c. Awal, setelah umur 24 jam

d. Menengah, setelah 7 hari perawatan

e. Lambat, setelah bayi bernafas sendiri tanpa O2

f. Setelah keluar dari perawatan inkubator

Kriteria keberhasilan Perawatan Metode Kanguru adalah:

a. Suhu tubuh bayi stabil dan optimal (36,50C -37,50C)

b. Kenaikan berat badan stabil

a. Produksi ASI adekuat

b. Bayi tumbuh dan berkembang optimal

c. Bayi dapat menetek kuat seperti normalnya

Thursday, November 22, 2007

Posisi Pendidikan Kesehatan Dalam Menentukan Status Kesehatan

Blum mengidentifikasi empat faktor utama yang berpengaruh terhadap status kesehatan, yaitu keturunan, lingkungan, pelayanan kesehatan dan perilaku. Keturunan termasuk dalam faktor utama, karena sifat genetik diturunkan oleh orang tua kepada keturunannya. Sifat genetik ini sebagian bertanggung-jawab terhadap kapasitas fisik dan mental keturunannya. Lingkungan terdiri dari lingkungan fisik dan sosial. Limgkungan fisik dapat menjadi kekuatan yang buruk dan merusak kesehatan manusia. Ketidaksetaraan dalam organisasi sosial mendorong terjadinya kemiskinan yang secara langsung memberikan kontribusi terhadap masalah-masalah kesehatan. Bagaimana masalah-masalah kesehatan dipecahkan sangat tergantung pada pengorganisasian dan pelaksanaan pelayanan kesehatan. Perilaku kesehatan (health behaviour) juga menentukan status kesehatan. Perubahan perilaku menuju ke arah hidup yang kondusif untuk kesehatan dilakukan melalui pendidikan kesehatan.

Menurut WHO (1986), yang dimaksud dengan perilaku kesehatan (health behaviour) adalah aktivitas apapun yang dilakukan oleh individu tanpa memandang status kesehatan aktualnya maupun status kesehatan menurut persepsi individu tersebut- yang bertujuan untuk meningkatkan, melindungi atau mempertahankan kesehatannya, tanpa mempertimbangkan apakah perilaku tersebut efektif untuk mencapai tujuan tersebut. Istilah ini harus dibedakan dengan perilaku berisiko (risk behaviour) yang berarti perilaku yang berhubungan dengan peningkatan kerentanan terhadap penyakit tertentu.

Sebagaimana disebutkan dalam definisi di atas, pendidikan kesehatan adalah proses yang direncanakan dengan sadar untuk menciptakan peluang bagi individu-individu untuk senantiasa belajar memperbaiki literacy, meningkatkan pengetahuan dan life skills nya demi kepentingan kesehatannya. Dengan demikian perlu perencanaan. Ada beberapa model perencanaan pendidikan kesehatan, namun dalam makalah ini hanya dibahas sebagian dari model perencanaan PRECEDE yang dikemukakan oleh Green dan usulan praktisi (Departemen Kesehatan) dalam penerapannya. Selain itu, oleh karena tujuan pendidikan kesehatan adalah mengubah perilaku, maka perlu diketahui perilaku siapa yang akan diubah (sasaran) dan teori-teori apa yang mendasari proses perubahan perilaku tersebut itu. Kemudian baru dapat dipilih metode yang sesuai dengan tujuan spesifik pendidikan kesehatan yaitu perubahan pengetahuan (kognisi), perubahan sikap (pengertian, motivasi) atau perubahan praktek (mendapatkan akses informasi kesehatan, mempergunakan informasi) untuk meningkatkan atau mempertahankan kesehatannya.

Jika kesehatan akan diperbaiki dengan membantu individu mengubah gaya hidupnya, maka kegiatan yang dilakukan bukan hanya ditujukan terhadap individu tersebut namun juga terhadap kondisi sosial dan kondisi kehidupan yang membuat individu mempertahankan pola perilakunya tersebut. Berdasarkan pemikiran tersebut, Lawrence Green mengusulkan perencanaan pendidikan kesehatan melalui PRECEDE framework (kerangka kerja Precede) dan PROCEED framework sebagai terapi terhadap perilaku lama. PRECEDE merupakan akronim predisposing, reinforcing and enabling constructs in ecosystem diagnosis and evaluation. Sedangkan PROCEDE merupakan akronim policy, regulating or resourcing, and organizing for educational and environmental development evaluation. Jika PRECEDE merupakan diagnosis, PROCEDE adalah terapi dalam pendidikan kesehatan. Dalam PRECEDE framework, berisi dua kegiatan yaitu diagnosis dan evaluasi ekosistem. Evaluasi ekosistem merupakan assessment yang hasilnya dipergunakan untuk mendiagnosis ekosistem. Diagnosis ekosistem berisi kegiatan penilaian kualitas hidup melalui penilaian umum terhadap masalah-masalah sosial. Kemudian dilakukan identifikasi masalah-masalah kesehatan yang tampaknya berpengaruh terhadap masalah sosial ini. Selanjutnya diidentifikasi perilaku-perilaku khusus yang tampaknya berkaitan dengan masalah kesehatan tersebut dilanjutkan dengan melokalisir perilaku (diagnosis perilaku). Langkah selanjutnya adalah menegakkan diagnosis edukasional yaitu menentukan faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), pemungkin (enabling factors) dan penguat (reinforcing factors) yang berpotensi mempengaruh perilaku kesehatan yang telah diidentifikasi tersebut. Ketiga faktor tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

1). Faktor-faktor predisposisi (Predisposing factor)

Faktor-faktor ini mencakup, pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi, dan sebagainya. Ikhwal ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Untuk berperilaku kesehatan, misalnya : pemeriksaan kesehatan bagi ibu hamil diperlukan pengetahuan dan kesadaran ibu tersebut tentang manfaat pemeriksaan hamil, baik bagi kesehatan ibu sendiri dan janinnya. Disamping itu, kadang-kadang kepercayaan, tradisi dan sistem nilai masyarakat juga dapat mendorong atau menghambat ibu untuk periksa hamil. Misalnya, orang hamil tidak boleh disuntik (pemeriksa hamil termasuk memperoleh suntikan anti tetanus), karena suntikan bisa menyebabkan anak cacat. Faktor-faktor ini terutama yang positif akan mempermudah terwujudnya perilaku baru maka sering disebut faktor yang memudahkan.

2). Faktor-faktor pemungkin (Enabling factors)

Faktor-faktor ini mencakup ketersedian sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat, misalnya: air bersih, tempat pembuangan sampah, tempat pembuangan tinja, tersedianya makanan yang bergizi, dan sebagainya. Termasuk juga fasilitas pelayanan kesehatan seperti puskesmas, rumah sakit, poliklinik, posyandu, polindes, pos obat desa, dokter atau bidan praktek suasta (BPS), dan sebagainya. Untuk berperilaku sehat, masyarakat memerlukan sarana dan prasarana pendukung, misalnya : perilaku pemeriksaan kehamilan. Ibu hamil yang mau periksa hamil tidak hanya karena ia tahu dan sadar manfaat periksa hamil saja, melainkan ibu tersebut dengan mudah harus dapat memperoleh fasilitas atau tempat periksa hamil, misalnya : puskesmas, polindes, bidan praktik, ataupun rumah sakit. Fasilitas ini pada hakikatnya mendukung untuk atau memungkinkan terwujudnya perilaku kesehatan, maka faktor-faktor ini disebut faktor pendukung, atau faktor pemungkin.

3). Faktor-faktor penguat (Reinforcing factors)

Faktor-faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat (toma), tokoh agama (toga), sikap dan perilaku para petugas termasuk petugas kesehatan. Termasuk juga di sini undang-undang, peraturan-peraturan baik dari pusat maupun pemerintahan daerah yang terkait dengan kesehatan. Untuk berperilaku sehat, masyarakat kadang-kadang bukan hanya perlu pengetahuan dan sikap positif serta dukungan fasilitas saja, melainkan diperlukan perilaku contoh (acuan) dari para tokoh masyarakat, tokoh agama, para petugas, lebih-lebih para petugas kesehatan. Disamping itu undang-undang juga diperlukan untuk memperkuat perilaku masyarakat tersebut. Seperti perilaku pemeriksaan hamil, serta kemudahan memperoleh fasilitas pemeriksaan hamil, juga diperlukan peraturan atau perundang-undangan yang mengharuskan ibu hamil melakukan periksa hamil. Oleh sebab itu intervensi pendidikan hendaknya dimulai mendiagnosis 3 faktor penyebab (determinan) tersebut kemudian intervensinya juga diarahkan terhadap 3 faktor tersebut.

Pengorganisasian Komunitas

WHO (1974) mendefinisikan komunitas atau masyarakat sebagai suatu pengelompokan sosial yang ditentukan oleh batas-batas geografi serta kesamaan nilai-nilai dan interes. Pada umumnya anggota-anggotanya saling mengenal dan berinteraksi. Komunitas berfungsi dalam struktur sosial tertentu serta menerapkan dan membentuk norma-norma tertentu pola. Pembangunan kesehatan masyarakat merupakan bagian integral dari suatu pembangunan kesehatan nasional, selain itu juga merupakan bagian integral dari pembangunan sosial dan ekonomi masyarakat. Keterlibatan masyarakat dalam perencanaan, pengorganisasian, dan pengelolaan upaya kesehatan termasuk upaya perawatan diri, pada akhirnya akan menjadi tumpuan kemandirian masyarakat dalam hal kesehatan.

Berbagai kegiatan masyarakat dalam upaya kesehatan telah banyak dilaksanakan di desa (kelurahan) dengan budaya kerja sama, gotong royong dan musyawarah serta peluang-peluang kemandirian mereka seperti kemandirian dalam pembiayaan kesehatan. Peran serta masyarakat merupakan hal yang mutlak perlu dilakukan dalam pembangunan kesehatan. Kesehatan merupakan kebutuhan dan hak setiap insan agar dapat menjalani hidup yang produktif dan bahagia. Agar setiap orang dimanapun dan kapanpun dapat memperoleh hidup sehat, kesehatan harus menjadi kemampuan yang melekat pada setiap insan. Hal ini hanya dapat dicapai bila masyarakat, baik secara individu maupun kelompok, berperan serta untuk meningkatkan kemampuan hidup sehatnya. Kemandirian masyarakat untuk mengatasi masalah kesehatan dan menjalankan upaya pemecahannya sendiri adalah kunci kelangsungan pembangunan.

Hendrik Blum (1974) selain membagi komunitas berdasarkan geopolitik juga berdasarkan interaksi yang berlangsung seperti nampak pada jenis-jenis komunitas yang dijabarkan sebagai berikut :

1. Komunitas temu muka (face to face)

2. Komunitas menurut kewilayahan/administrasi pemerintahan

3. Komunitas menurut kesamaan kebutuhan

4. Komunitas berdasarkan masalah ekologi

5. Komunitas berdasarkan interes tertentu

6. Komunitas berdasarkan sumber daya atau pemecahan masalah

2. Tujuan dan Sasaran

2.1 Tujuan Umum

Meningkatnya jumlah dan mutu kegiatan masyarakat dibidang kesehatan.

2.2 Tujuan Khusus

  1. Meningkatkan kemampuan pemimpin/tokoh masyarakat dalam merintis dan menggerakkan upaya kesehatan di masyarakat,
  2. Meningkatkan kemampuan organisasi masyarakat dalam penyelenggaraan upaya kesehatan,
  3. Meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengatasi masalah kesehatan secara mandiri,
  4. Meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menggali, menghimpun, dan mengelola dana / sarana masyarakat untuk upaya kesehatan.

2.3 Sasaran

Sasaran peningkatan peran serta masyarakat dalam pembangunan kesehatan adalah :

@ Individu yang berpengaruh atau tokoh masyarakat, baik formal maupun informal

@ Keluarga

@ Kelompok masyarakat dengan kebutuhan khusus kesehatan, seperti : remaja, wanita, angkatan kerja dan lain-lain.

@ Organisasi masyarakat yang secara langsung maupun tidak langsung dapat menyelenggarakan upaya kesehatan seperti : organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat dan sebagainya.

@ Masyarakat umum di desa (kelurahan), di kota dan di pemukiman khusus.