Monday, November 12, 2007

ubi jalar (Ipomoea batatas) bisa digunakan sebagai alternatif diit pada penderita DM tipe 2

Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit metabolik endokrin menahun (kebanyakan herediter) yang ditandai kadar glukosa darah melebihi nilai normal (Sacksa, 2001; Foster, 1998). DM dapat menimbulkan penyulit yang dapat berakibat fatal, komplikasi spesifik akibat perjalanan penyakit, yaitu retinopati (bisa menyebabkan kebutaan), gagal ginjal (nephrophaty), neuropati, aterosklerosis (penyebab stroke), gangren, dan penyakit arteria koronaria (coronary artery disease) (Dods, 1996; Sacksa, 2001; Foster, 1998). Laporan International Diabetes Federation (IDF/WHO), jumlah penderita DM di dunia meningkat pesat sehingga biaya pengelolaan DM menjadi 3 kali lipat dan satu dari dua orang penderita DM belum terdiagnosis. Laporan Mc Carpy et al. 1994, jumlah DM di dunia 110,4 juta orang, tahun 2000 meningkat + 1½ kali (175,4 juta) dan tahun 2010 menjadi + 2 kali lipat (239,3 juta). Prevalensi DM di Indonesia adalah sekitar 1,2-2,3% dari penduduk usia di atas 15 tahun. Jumlah DM di Surabaya tahun 2000 diperkirakan 50 ribu jiwa lebih. Angka tersebut cenderung meningkat seiring dengan tingkat pertumbuhan ekonomi dan perubahan pola serta gaya hidup.

Diabetes Mellitus dibedakan menjadi dua yaitu DM tipe 1 (dependent insulin) dan DM tipe 2 (independent insulin). DM tipe 2 terjadi sebagai akibat kurangnya insulin efektif oleh karena disfungsi pankreatik (gangguan first phase insulin secretion = AIR = Acute Insulin Response) dan disfungsi perifer (resistensi insulin = insulin resistance =IR) (DeFronzo, 1987; Ludvik et al., 1995). DM tipe 1 karena adanya kekurangan insulin absolut. Gangguan primer DM terletak pada metabolisme karbohidrat dan sekunder pada metabolisme lemak dan protein. Terapi DM tipe 1 mutlak dengan insulin. Terapi DM tipe 2 meliputi: edukasi, diit, olahraga, medikamentosa, dan cangkok pankreas. Ketika diit dan olahraga menjadi tidak efektif, terapi medikamentosa seperti obat hipoglikemi oral atau insulin harus digunakan (Groop, 1992; Bailey, 1992; DeFronzo, 1999). Pola makan penderita DM diatur ketat dengan menu tetap dan jumlah teratur. Hal ini mengakibatkan penderita DM merasa bosan dan merubah pola makan atau diitnya sehingga berbahaya bagi kesehatan. Untuk itu perlu dipikirkan sumber makanan pengganti yang bisa didapat mudah tetapi menarik serta tidak membosankan.

Akhir-akhir ini, perhatian ditujukan untuk evaluasi efficacy dari produk bahan alam dalam mengontrol diabetes (Sotaniemi et al., 1995; Vuksan and Stavro, 2000; Hosoda et al., 2003). Bahan alam yang belum banyak dibicarakan masyarakat Indonesia padahal sangat bermanfaat dalam pengobatan DM tipe 2 adalah ubi jalar (Ipomoea batatas) (Kusano and Abe, 2001; Ludvik et al., 2002). Berbagai macam jenis ubi jalar tumbuh dan tersebar di Indonesia (ubi jalar putih, kuning, oranye, ungu), menjadi makanan tradisional selama ratusan tahun dan dipertimbangkan sebagai pangan kaya nutrisi (Suda et al., 2003). Ubi jalar dijual di pasaran Indonesia hanya sebagai makanan sampingan atau untuk makanan ternak dan belum dipakai sebagai suplemen obat. Ubi jalar banyak mengandung vitamin (B1, B2, C, dan E), mineral (kalsium, kalium dan seng) serat, dan karbohidrat (Suda et al., 1999). Semua jenis ubi jalar tersebut memiliki kandungan nutrisi yang hampir sama serta mengandung beberapa tipe pigmen yang sangat bermanfaat seperti flavonoid, beta karoten, dan antosianin (Suda et al., 2003). Antosianin pada ubi jalar ungu memiliki banyak fungsi seperti antioksidan, antimutagenik, hepatoprotektor, antihipertensi dan antihiperglikemia (Suda et al., 2003).

Studi sebelumnya mempelajari efikasi dan tingkat toleransi ubi jalar dan plasebo pada pemberian dosis 2 dan 4 g/hari per oral selama 6 minggu pada 18 laki-laki ras Kaukasia penderita DM tipe 2 dan diterapi diit saja (Ludvik et al., 2002). Pemberian diit ubi jalar 4 g/hari selama 6 minggu terbukti menurunkan total kolesterol dan LDL dan glukosa darah dengan meningkatkan sensitivitas insulin tanpa memberi efek pada jumlah sekresi insulin (Ludvik et al., 2002; Ludvik et al., 2005).

Bahan aktif yang memiliki efek antidiabetes tersebut adalah tipe baru indol alkaloid yang dinamakan ipomine A (Yuan et al., 2004) dan merupakan asam glikoprotein (Kusano, Abe and takamura, 2001) dengan berat molekul 20.000 (Kusano et al., 2001). Antosianin ubi jalar juga berfungsi menghambat kerja enzim alfa glukosidase di intestinal sehingga mencegah hidrolisis disakarida menjadi monosakarida (glukosa) (Suda et al., 2003). Ubi jalar juga diketahui memiliki efek terhadap penurunan glukosa darah dengan berbagai cara yaitu meningkatkan sensitivitas insulin (Kusano and Abe, 2001) mirip troglitazone, bekerja mirip acarbose (Holman et al., 1999), dan nateglinid (Saloranta et al., 2002) yang mana ketiga obat tersebut merupakan obat hipoglikemi oral yang memiliki aktivitas hipoglikemia. Pemberian diit ubi jalar pada penderita DM tipe 2 sangat bermanfaat karena dapat memenuhi kebutuhan nutrisi sehari-hari sekaligus mempunyai bahan aktif yang berfungsi sebagai obat hipoglikemia.

Ubi jalar diketahui dapat dipakai dalam pengobatan diabetes (Kusano et al., 1998; Kusano and Abe, 2000). Untuk itu perlu diketahui lebih lanjut kandungan bahan aktif serta mekanisme kerja ubi jalar dalam penurunan kadar glukosa darah. Selanjutnya ubi jalar diformulasikan dalam bentuk tatalaksana pemberian sehingga bisa dipakai sebagai alternatif diit penderita DM tipe 2. Untuk keberhasilan diit ubi jalar perlu diperhatikan 3 K penderita, yaitu kemauan, kemampuan dan kesempatan. Pelaksanaan diit ubi jalar juga diikuti 3 J yaitu jumlah kalori yang diberikan harus dihabiskan, jadwal makanan harus diikuti (interval 3 jam) dan jenis gula dan yang manis harus dipantang. Pemakaian ubi jalar diharapkan dapat berguna bagi penderita dan pada akhirnya penderita dapat hidup dengan baik bersama diabetesnya.