Demam berdarah sempat mencuat setelah tahun 2004 lalu penyakit ini dinyatakan sebagai KLB (kejadian Luar Biasa) di negara kita. Memasuki tahun 2005 ini jumlah kasus demam berdarah mulai melonjak di beberapa daerah. Penderitaan korban serta kerugian yang ditimbulkan sudah menjadi menu sehari-hari yang terpampang di berbagai media cetak maupun elektronik. Akankah tahun 2005 ini KLB DBD (Demam Berdarah Dengue) terjadi secara nasional lagi?
UU No. 4 tahun 1984 tentang wabah penyakit menular menyebutkan bahwa wabah adalah kejadian berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat, yang jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi dari keadaan yang lazim pada waktu dan daerah tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka. Dalam rangka mengantisipasi wabah secara dini, dikembangkan istilah kejadian luar biasa (KLB) sebagai pemantauan awal terhadap kejadian wabah. Sedangkan definisi KLB itu sendiri adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan atau kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu.
Penyakit Demam Berdarah Dengue telah dikenal di RSUD Soetomo sejak tahun 1968. Penyakit yang disebabkan oleh Aedes Aegypti dan Aedes Albopictus ini telah merenggut ratusan bahkan ribuan korban jiwa hingga saat ini. Tak mengherankan jika angka kejadian penyakit Demam Berdarah Dengue di Indonesia menduduki peringkat dua di
Nampaknya KLB DBD yang terjadi pada tahun 2004 lalu tidak membuat pemerintah jera, hal ini dapat dicermati dari belum adanya upaya penanggulangan secara sistematik, terkonsep dan terencana.
Nyamuk yang merupakan pembawa virus tersebut memiliki empat stadium dalam siklus hidupnya yaitu stadium telur, larva, pupa dan dewasa. Sangat disayangkan jika ternyata KLB DBD terjadi secara nasional sebab dengan melihat siklus hidup dari nyamuk tersebut dapat diupayakan tindakan pencegahan dan promosi. Yang paling utama dalam pemberantasan DBD adalah melenyapkan telur, larva dan pupa yang terdapat dalam air tergenang. Program pemberantasan sarang nyamuk dengan mengandalkan 3M (mengubur, menguras dan menutup) yang digembar-gemborkan saat ini terbukti belum optimal menghadang penyebaran “vampir mini” tersebut. Apakah ada yang salah dengan program tersebut? Menurut pendapat para ahli pemberantasan sarang nyamuk dengan 3M terbukti lebih efektif daripada dilakukan fogging atau pengasapan. Sebab secara logika pengasapan hanya mampu membunuh nyamuk dewasa sehingga nyamuk dewasa yang mati akan digantikan oleh nyamuk yang baru.
Pada kasus diatas yang patut dicermati adalah keterlambatan upaya 3M yang sedang disosialisasikan. Pemerintah dengan gencar memberikan penerangan pada masyarakat setelah terbesit kabar salah satu warganya terkena DBD. Padahal upaya tersebut akan memberikan hasil yang kurang optimal mengingat kedisiplinan bangsa
Pemberantasan DBD secara nasional dapat melibatkan siswa sekolah agar waspada dan mampu mengenali jentik-jentik nyamuk di lingkungan sekitarnya. Pengenalan DBD secara dini akan membawa hasil dalam jangka panjang. Selain itu perlu disadari bahwa DBD bukan hanya masalah Departemen Kesehatan saja tetapi juga merupakan masalah semua sektor pembangunan di negara kita. Disinilah dituntut komitmen pemerintah sebagai pelaksana serta dukungan politis dan finansial untuk membendung keganasan virus dengue. Dengan peningkatan kewaspadaan dini terhadap penyebaran dan kejadian luar biasa diharapkan kasus DBD di Indonesia dapat diminimalisir. Serta tidak lupa sosialisasi paradigma “mencegah lebih baik daripada mengobati” perlu ditanamkan dalam propaganda perang terhadap demam berdarah.