Penyakit Demam Berdarah Dengue adalah penyakit infeksi virus Dengue yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan nyamuk Aedes albopictus. Virus Dengue termasuk genus Flavivirus, famili Flaviviridae, yang dibedakan menjadi 4 serotipe yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3 dan DEN 4. Keempat serotipe virus ini terdapat di Indonesia dan dilaporkan bahwa serotipe virus DEN 3 sering menimbulkan wabah, sedang di Thailand penyebab wabah yang dominan adalah virus DEN 2 (Syahrurahman A et al., 1995). Penyakit ini ditunjukkan dengan adanya demam secara tiba-tiba 2-7 hari, disertai sakit kepala berat, sakit pada sendi dan otot (myalgia dan arthralgia) dan ruam merah terang, petechie dan biasanya muncul dulu pada bagian bawah badan menyebar hingga menyelimuti hampir seluruh tubuh. Radang perut bisa juga muncul dengan kombinasi sakit di perut, rasa mual, muntah-muntah atau diare (Soewandoyo E., 1998). Manifestasi klinik terwujud sebagai akibat adanya kebocoran plasma dari pembuluh darah perifer ke jaringan sekitar. Infeksi virus Dengue dapat bersifat asimtomatik atau simtomatik yang meliputi panas tidak jelas penyebabnya (Dengue Fever, DF), Demam Berdarah Dengue (DBD), dan demam berdarah dengan renjatan (DSS) dengan manifestasi klinik demam bifasik disertai gejala nyeri kepala, nyeri sendi, nyeri otot, dan timbulnya ruam pada kulit ( Soegijanto S., 2004).
DBD di Indonesia pertama kali ditemukan di Gresik tahun 1968, tetapi konfirmasi virologis baru diperoleh tahun 1970. Kasus pertama di Jakarta dilaporkan tahun 1968, diikuti laporan dari Bandung (1972) dan Yogyakarta (1972) (Soedarmo, 2002). Epidemi pertama di luar Jawa dilaporkan tahun 1972 di Sumatera Barat dan Lampung, disusul Riau, Sulawesi Utara, dan Bali (1973), serta Kalimantan Selatan dan Nusa Tenggara Barat (1974). DBD telah menyebar ke seluruh provinsi di Indonesia sejak tahun 1997 dan telah terjangkit di daerah pedesaan (Suroso T, 1999). Angka kesakitan rata-rata DBD di Indonesia terus meningkat dari 0,05 (1968) menjadi 8,14 (1983), dan mencapai angka tertinggi tahun 1998 yaitu 35,19 per 100.000 penduduk dengan jumlah penderita sebanyak 72.133 orang (Soegijanto S., 2004).
Selama awal tahun epidemi di setiap negara, penyakit DBD ini kebanyakan menyerang anak-anak dan 95% kasus yang dilaporkan berumur kurang dari 15 tahun. Walaupun demikian, berbagai negara melaporkan bahwa kasus-kasus dewasa meningkat selama terjadi kejadian luar biasa (Soegijanto S., 2004).
Cara yang paling efektif dalam mencegah penyakit DBD adalah dengan mengkombinasikan cara-cara modifikasi lingkungan, biologis dan kimiawi dengan “3M Plus”, yaitu menutup, menguras, menimbun. Selain itu juga melakukan beberapa plus seperti memelihara ikan pemakan jentik, menabur larvasida, menggunakan kelambu pada waktu tidur, memasang kasa, menyemprot dengan insektisida, menggunakan repellent, memasang obat nyamuk, memeriksa jentik berkala, dll sesuai dengan kondisi setempat.
Pemerintah juga memberdayakan masyarakat (partisipasi masyarakat) dengan mengaktifkan kembali (revitalisasi) pokjanal DBD di Desa/Kelurahan maupun Kecamatan dengan fokus pemberian penyuluhan kesehatan lingkungan dan pemeriksaan jentik berkala. Perekrutan warga masyarakat sebagai Juru Pemantau Jentik (Jumantik) dengan fungsi utama melaksanakan kegiatan pemantauan jentik, pemberantasan sarang nyamuk secara periodik dan penyuluhan kesehatan. Peran media massa dalam penanggulangan KLB DBD dan sebagai peringatan dini kepada masyarakat juga ditingkatkan. Dengan adanya sistem pelaporan dan pemberitahuan kepada khalayak yang cepat diharapkan masyarakat dan instansi lintas sektor yang terkait lebih wasapada. Intensifikasi pengamatan (surveilans) penyakit DBD dan vektor dengan dukungan laboratorium yang memadai di tingkat Puskesmas Kecamatan/Kabupaten juga perlu dibenahi (Suara Merdeka, 2005).
Pemberdayaan siswa sekolah mulai dicetuskan sejak tahun 2004 tetapi sampai saat ini implementasi program masih belum berjalan. Pemerintah masih belum memiliki konsep yang tepat dan efektif dalam pemberdayaan siswa. Siswa pemantau jentik yang digagas oleh pemerintah diintegrasikan dalam Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) di masing-masing sekolah. Hal ini diragukan keefektifannya mengingat belum semua sekolah memiliki UKS dan kalaupun ada, UKS tersebut belum berfungsi sebagaimana mestinya.